Selama perjalanan menuju kota mereka hanya membawa tas kain selempang yang diisi oleh pakaian ganti saja tanpa membawa perbekalan lain.
Mata uang yang mereka gunakan sama seperti penduduk yang lain yaitu masih menggunakan rupiah, di suku Baduy pun tetap ada transaksi jual beli lainnya hanya saja cara mereka menghabiskan uang berbeda dengan warga kota. Karena warga suku Baduy tidak memiliki alat komunikasi genggam dan pakaian-pakaian modern, makanan yang mereka makan pun cukup alami. Jadi jika ditanya untuk apa kegiatan transaksi itu? Uang yang mereka dapat bisa untuk membeli emas dan ditabung.
Selama di sana tidak melihat kepala adat Baduy atau disebut pu’un ternyata pu’un tidak bisa sembarangan ditemui. Jangankan ditemui, untuk sekadar melewati rumahnya saja tidak boleh, ada beberapa jalan yang tidak bisa dilalui oleh sembarang orang karena jalan tersebut melewati rumah pu’un atau jalan menuju hutan-hutan yang dilindungi.
Agama yang mereka anut adalah Sunda Wiwitan yang masih mempercayai leluhur. Walaupun tidak ada orang Muslim di Suku Baduy tapi mereka sangat terbuka dengan penganut apa pun.
Warga Baduy sangat menghargai apa pun itu selama kita mampu menghargai mereka. Ketika hendak melaksanakan ibadah salat Maghrib ditunjukan oleh mereka arah kiblat tak hanya itu mereka juga menjelaskan waktu Subuh ditandakan dengan ayam berkokok karena tidak ada mushalla dan azan di sana, jadi ayamlah yang menjadi penanda waktu Subuh.
Sungguh perjuangan luar biasa hidup di suku Baduy, mau wudu harus menyeberangi sungai pagi-pagi buta jalan pun masih gelap karena tidak ada listrik. Tapi dari situlah benar-benar merasakan syukur luar biasa. Bagaimana pun dan sesulit apa pun kondisi kita, karena ada yang lebih sulit lagi.
Ajaran Sunda Wiwitan melarang penganutnya untuk pacaran. Jika ada warga Baduy yang ketahuan pacaran resikonya mereka bisa diusir dari suku tersebut. Sebab itu anak-anak di suku Baduy sudah dinikahkan sejak usia baligh sekitar 10 atau 11 tahun.
Cara untuk menikahkan pun cukup unik, biasanya warga yang ingin menikahkan putra putrinya datang menemui pu’un dan konsultasi mengenai jodohnya, jika pu’un mengatakan cocok, prosesi pernikahan bisa dilanjutkan. Jika tidak, maka tidak bisa menggelar prosesi pernikahan. Karena di Baduy tidak mengenal perceraian, jika sudah menikah, maka sampai akhir hayat tidak bisa bercerai.
Jika ada konflik dalam rumah tangga mereka langsung membicarakan baik-baik atau menemui pu’un untuk meminta saran penyelesaian. Jika sudah mendapatkan jawaban dari pu’un apakah orang yang akan dinikahi adalah orang yang tepat maka langkah selanjutnya kedua belah keluarga menggelar acara lamaran sama seperti orang kota pada umumnya. Namun yang berbeda adalah rentang waktu dari lamaran ke akad tidak bisa langsung diselenggarakan dalam waktu dekat, melainkan harus menunggu sekitar satu tahun.
Selama menunggu satu tahun itu calon pengantin menyiapkan kebutuhan rumah tangga seperti bahan-bahan untuk mendirikan rumah, perabotan dapur dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Selain menikah, warga Baduy pun berobat pada pu’un. Di Baduy tidak mengenal istilah tikung menikung jika sudah lamaran walaupun harus menunggu satu tahun tidak bisa dinikahkan dengan orang lain, tradisi mereka pun harus menikahkan dengan sesama warga Baduy. Jika ada yang menikah dengan warga luar maka konsekuensinya adalah mereka akan dikeluarkan dari suku tersebut.
Selama di sana ada satu hal yang membuat aku sangat penasaran yaitu sekolah, karena aku tidak melihat bangunan sekolah atau pun anak-anak belajar di bangunan khusus. Setelah berbincang dengan ibu di rumah, baru aku mengetahui mereka biasa mendidik anak-anak mereka sendiri. Semua mereka ajarkan sendiri seperti menulis, berhitung tanpa bantuan seorang guru.
Betapa mandirinya warga Suku Baduy ini semuanya mereka bisa melakukan sendiri mulai dari membangun rumah sampai mendidik anak. Lagi-lagi hikmah bertemu dengan warga Baduy kalau kita pun seharusnya juga bisa menjadi seseorang yang mandiri. Peraturan di sana tidak mengizinkan pengunjung untuk menginap lebih dari semalam. Semalam saja tidak cukup untuk mengupas hal-hal yang menarik di Suku Baduy.
Kontributor: Safitri Rochmah
Editor: Muhammad Nashir