Penulis: Dr. Zaprulkhan M.Si (Dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung)
Suaramuslim.net – Jika harus menyebut salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang begitu piawai membingkai konsep Islam baik secara akademis-intelektual maupun praksis-aktual, mungkin tidak berlebihan mengatakan almarhum Kuntowijoyo-lah orangnya.
Kunto mempunyai keunikan spesifik yang tidak dimiliki oleh cendekiawan-cendekiawan kita yang lain. Kunto bukan hanya seorang cendekiawan, tapi juga seorang sastrawan, seorang cerpenis dan novelis; Kunto bukan hanya seorang intelektual tapi juga seorang budayawan; bukan hanya seorang ilmuwan tapi juga seorang sejarawan.
Secara global, Kunto mampu berdiri di atas dua kaki profesi yaitu satu kaki sebagai cendekiawan dan satu kaki sebagai sejarawan. Satu kaki sebagai ilmuwan, satu kaki sebagai budayawan. Satu kaki sebagai intelektual, satu kaki sebagai novelis dan cerpenis. Yang menakjubkan, Kunto mampu menulis di kedua bidang tersebut secara seimbang.
Tulisan-tulisannya sebagai seorang cendekiawan sebagus tulisan-tulisannya sebagai seorang sastrawan. Tulisan-tulisannya sebagai seorang ilmuwan se-bernas tulisan-tulisannya sebagai budayawan. Tulisan-tulisannya sebagai seorang intelektual se-kritis tulisan-tulisannya sebagai seorang novelis atau cerpenis.
Buku pemikiran filosofis-historisnya Paradigma Islam sebagus novelnya Khotbah di Atas Bukit. Karya pemikiran politiknya Identitas Politik Umat Islam, se-bernas cerpennya Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Traktat filosofisnya Muslim Tanpa Masjid sama kualitasnya dengan novelnya Impian Amerika. Dan karya intelektual cemerlangnya Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas senada cemerlangnya dengan fabel-fabel politiknya, Mengusir Matahari.
Itulah salah satu keunikan cendekiawan kita ini yang tidak dimiliki oleh cendekiawan lainnya. Ia mampu menari secara intelektual dan puitika dengan begitu lincahnya di dua ranah wacana tersebut secara harmonis. Nalar diskursifnya seirama dengan sensitivitas puitiknya.
Jika dalam konteks sastra, Kunto mengkonstruksi konsep Sastra Profetik, dalam wacana pemikiran Islam, ia menggagas konsep Ilmu Sosial Profetik. Menariknya, baik sastra profetik maupun ilmu sosial profetik, salah satu pijakan fundamentalnya sama yaitu struktur transendental.
Dasar struktur transendental itu adalah kitab suci Al Quran. Dengan makna struktur artinya apa yang terdapat dalam kitab suci selalu koheren (utuh) ke dalam dan konsisten ke luar, elemen yang satu tidak bertentangan dengan yang lainnya karena merupakan satu kesatuan.
Adapun yang dimaksud dengan transendental tidak lain karena semua kitab suci merupakan wahyu dari Allah Yang Maha Transenden.
Oleh karena itu, semua kitab suci melampaui zamannya meskipun sudah tua dan lahir pada suatu zaman, kenyataannya masih selalu relevan dengan zaman kapan pun. Berhubungan dengan Al Quran, meskipun Al Quran juga dapat dianggap sebagai suatu dokumen historis karena hampir pernyataannya mengacu kepada peristiwa-peristiwa aktual sesuai dengan konteks sejarahnya ketika ia diturunkan, tetapi pesan utamanya sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti melampaui zaman, beyond space and time, melampaui batasan ruang dan waktu.
Sedangkan berhubungan dengan sastra, bagi Kunto karya sastra profetik adalah karya sastra yang ketat dalam struktur (ada pergulatan bentuk ucapan) sekaligus memiliki kaitan dengan Yang Maha Abadi. Maka tidak heran bila karya sastra yang sebenar-benarnya karya sastra selalu melampaui zamannya. Hal yang sering berbeda dengan produk seni atau budaya lain, terutama yang tidak menyadari ketransendentalannya.
Secara sederhana, sastra dalam pandangan Kunto kurang lebih berusaha menjangkau langit yakni kesadaran ketuhanan dengan tetap berpijak di bumi yakni kesadaran kemanusiaan. “Kesadaran Ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan”, tulis Kunto, “adalah dua tema besar dalam sastra.
Bandul dua kesadaran itu harus berimbang, tidak bisa salah satunya dimenangkan. Kesadaran ketuhanan melalui sufisme yang ekstrem, dengan uzlah (mengasingkan diri), wadat (tidak kawin), dan kerahiban dilarang dalam Islam. Sebaliknya, perjuangan untuk manusia (kemerdekaan, demokrasi, dan HAM) juga harus memperhatikan hak-hak Tuhan”.
Ilustrasi dua bait sajak dari buku Makrifat Daun, Daun Makrifat, berikut ini paling tidak dapat menggambarkan sekilas makna sastra profetik Kunto:
“Sesudah membuka pintu-pintu
Aku keluar menuju ladang
Dan di antara pohon ku temukan
Senyum, danau, dan ayat Tuhan.
Dengan ikhlas
Kutanam pohon untuk burung
Yang sanggup
memuji Tuhan dengan sempurna.
Sebelum setiap bait di atas, Kunto memulainya dengan didahului lantunan shalawat dan salam kepada Nabi (Ya Allah, Taburkanlah wangian/ di kubur Nabi yang mulia/ dengan semerbak shalawat/ dan salam sejahtera) dan dilanjutkan oleh bait puisi yang langsung menyentuh di bumi.
Apa maknanya? Eksistensi Tuhan tidak hanya dapat dirasakan kehadiran-Nya dalam shalawat, melainkan terasa pula kehadiran-Nya (disimbolkan oleh ayat Tuhan) di hamparan ladang, di mana terdapat pula pohon, senyum, dan danau.
Bait di atas menggambarkan sosok manusia yang bekerja di bumi dengan menanam pohon, tapi tetap mampu menjangkau kesadaran langit yakni pohon yang ditanamnya dipersembahkan untuk “burung” yang sanggup memuji Tuhan. Pada bait-bait itu kita melihat bagaimana piawainya cendekiawan kita ini menyatukan antara kesadaran ketuhanan dengan kesadaran kemanusiaan.
Lanjutan Artikel “Mengenal Kehebatan Kuntowijoyo – Bagian 2“
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net