Mengenal Kehebatan Kuntowijoyo – Bagian 2

Mengenal Kehebatan Kuntowijoyo – Bagian 2

Mengenal Kehebatan Kuntowijoyo - Bagian 1
Kuntowijoyo (Kanigoro.com)

Lanjutan Artikel dari “Mengenal Kehebatan Kuntowijoyo – Bagian 1

Suaramuslim.net – Sekarang mari kita masuk pada wacana pemikiran Kunto, Ilmu Sosial Profetik dengan menekankan pada satu aspek paradigma Islam secara general. Salah satu keunikan Kunto sebagai seorang cendekiawan, intelektual, ilmuwan, atau sejarawan adalah ia tidak mendekati doktrin Islam secara subjektif-normatif dari kacamata keilmuan Islaman sih, tetapi memperkaya dengan pendekatan sejarah kritis dan teori-teori sosial.

Dengan pendekatan tersebut, hasil pembacaannya terhadap Islam ternyata mampu memberikan kerangka paradigmatik dalam menafsirkan fenomena yang sedang terjadi dalam konteks Indonesia khususnya dan mengantisipasi ke arah mana gerakan transformasi umat Islam sebaiknya diarahkan.

Secara sederhana dengan ilmu sosial profetik, Kunto ingin menjadikan Islam sebagai paradigma, sudut pandang, atau kacamata dalam memandang realitas kehidupan. Pertanyaannya besarnya adalah mengapa Umat Islam mesti melihat realitas melalui kacamata Islam?

Dalam tilikan Kunto, menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas tidak pernah dilihat secara langsung oleh setiap orang, melainkan melalui tabir, yakni melalui konsep, sistem simbol, ideologi, dan budaya. Sebab orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang, animal’s faith tidak pernah terjadi pada bangsa manusia.

Secara kasuistik, Dunia Barat cenderung melihat Dunia Islam melalui tabir budaya yaitu poligami, harem, cadar, dan radikalisme. Bahkan dalam konteks Orde Baru, rezim penguasa sering melihat orang yang mengkritik kebijakannya melalui konsep “anti pancasila”, dan kalau orangnya Islam adalah “ekstrem kanan”.

Solusi alternatif dari Kuntowijoyo

Dengan alasan inilah, Kunto mengajak kaum Muslim agar menjadikan Islam sebagai paradigma atau alat teropong dalam membingkai realitas kehidupan. Secara global, untuk menjadikan Islam sebagai paradigma, Kunto menyuguhkan beberapa solusi alternatif.

Pertama, perlu lebih dikembangkan penafsiran sosial-struktural daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan di dalam Al-Quran. Selama ini kita cenderung melakukan penafsiran yang bersifat individual ketika memahami, misalnya, sebuah ayat yang menyatakan larangan untuk hidup berlebih-lebihan (QS. At-Takaasur: 1).

Dari penafsiran individual ini, sering timbul sikap mengutuk orang-orang yang hidup berfoya-foya, yang memiliki vila-vila di puncak, atau yang mempunyai banyak simpanan deposito di bank-bank luar negeri. Tapi yang lebih mendasar sebenarnya adalah mencari sebab-sebab struktural kenapa gejala hidup mewah dan berlebihan itu muncul dalam konteks sistem sosial dan sistem ekonomi kita.

Dengan upaya ini, penafsiran kita terhadap gejala hidup mewah harus lebih dikembangkan pada perspektif sosial-struktural. Dari pembacaan semacam ini, kita akan menemukan akar masalah yang paling esensial yaitu terjadinya konsentrasi kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumber-sumber alam atas dasar nafsu keserakahan.

Gejala-gejala seperti inilah sebenarnya yang harus kita rombak agar tidak menciptakan gaya hidup hedonistik-konsumeristik, gaya hidup yang secara moral maupun sosial sangat dikecam oleh Al Quran.

Kedua, menerjemahkan cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif dan konsep-konsep Islam yang normatif menjadi teoretis. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif dan teoretis ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif dan kelimuan. Tentang ketentuan zakat misalnya.

Secara subjektif, tujuan zakat memang diarahkan untuk “pembersihan” harta sekaligus jiwa kaum Muslim. Tapi sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat pada intinya adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial itulah yang menjadi sasaran objektif dikeluarkannya ketentuan untuk berzakat.

Dari reorientasi semacam ini, dapat dikembangkan tesis yang lebih luas bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan tercapainya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya.

Pada puncaknya, Kunto ingin menerjemahkan konsep-konsep Islam yang bersifat normatif-subjektif ke dalam tataran yang bersifat faktual-objektif yakni dengan menjadikan Islam sebagai ilmu (pengilmuan Islam) yang dampaknya akan bersifat pada ranah kemanusiaan universal. Ketika Islam bergerak dalam ranah ilmu, maka dampaknya bukan hanya rahmatan lil muslimin semata, tapi juga rahmatan lil indonesiyin, bahkan menjadi rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi semesta kehidupan umat manusia.

Ketiga, memperkaya pemahaman yang historis dengan pemahaman transendental. Tidak jarang pemahaman kita terhadap Al Quran cenderung bersifat historis, padahal maksud Al Quran menceritakan kisah-kisah, konsep-konsep, atau amtsal-amtsal adalah agar kita berpikir pula secara kontekstual.

Al Quran menampilkan kisah ketabahan Nabi Ayyub as. atau kezaliman Fir’aun, misalnya, agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi.

Dalam setiap bentangan zaman, selalu ada figur kebaikan dan figur kejahatan. “Jadi bukan hanya data historisnya yang penting”, tegas Kunto, tapi juga pesan moralnya. Bukan hanya bukti objektif-empirisnya yang ditonjolkan, tapi ta’wil subjektif-normatifnya”. Dengan pembacaan ini, Al-Quran akan berfungsi sebagai transformasi psikologis yang sangat signifikan dalam menciptakan Islamic personality dan penyempurnaan kepribadian Islam.

Terakhir, merumuskan wacana-wacana agama yang bersifat umum menjadi wacana yang spesifik. Katakanlah dalam sebuah ayat Allah mengecam orang-orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya di kalangan kaum kaya (misalnya QS. Al-Hasyr: 7).

Pernyataan ini sebenarnya masih bersifat umum dan normatif, maka harus diterjemahkan pula secara spesifik. Penerjemahan dalam realitas sekarang adalah bahwa Allah mengecam keras adanya monopoli, oligopoli, dan dominasi sepihak dalam kehidupan sosio-ekonomi-politik oleh kalangan tertentu di lingkungan elit penguasa dan pengusaha.

Dengan menerjemahkan pernyataan yang umum itu secara spesifik untuk konteks Indonesia, maka pemahaman kita terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial. Pada gilirannya, penerjemahan secara kontekstual ini akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosial hari ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Kunto cukup piawai dalam memformulasikan konsep-konsep agama yang bersifat teologis-normatif menjelma wacana sosial yang bercorak fungsional-pragmatis. Kunto ingin mensosialisasikan konsep-konsep Islam sebagai ilmu yang bersifat fungsional, dalam pengertian berorientasi kepada praksis sosial dalam konteks Indonesia.

Akhirnya melalui paradigma Islam dengan pembacaan empiris, objektif, sosial-struktural, dan historis-kontekstual, ia ingin mengajak kita agar menumbuhkan kesadaran objektif terhadap realitas sosial sehingga Islam selalu hadir sebagai agama yang relevan untuk menjawab puspa ragam problematika kontemporer.

Akhirnya, izinkan saya menutup tulisan ini dengan menifesto Kunto yang memutuskan perjalanan hidupnya sebagai pengarang:

“Saya menulis karena bagi saya hidup adalah misteri yang mengagumkan. Seorang pengarang mempunyai kewajiban ganda.
Sebagai manusia ia harus menjadi saksi eksistensi Tuhan.
Dan sebagai pengarang ia harus menjadi saksi rahasia Tuhan.
Artinya pengarang adalah saksi kreatif-imajiner “misteri”kehidupan manusia ciptaan-Nya”.

Penulis: Dr. Zaprulkhan M.Si*
Editor: Ahmad Jilul Qur’ani Farid

*Dosen STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment