Surabaya (Suaramuslim.net) – Kamis malam (10 Mei 2018) hingga malam larut, saya berkesempatan mengikuti diskusi “cangkrukan” ala warung kopi yang dilakukan oleh Pak Dhe Karwo Gubernur Jawa Timur, Gus Halim (Ketua DPRD Jatim) dan beberapa perwakilan kepala dinas yang ada di Jatim.
Diskusi berawal dari gagasan bagaimana membangun Jawa Timur yang harmonis sehingga siapapun kelak yang ditakdirkan menjadi pemimpin Jawa Timur, tidak melupakan jasa pemimpin Jawa Timur sebelumnya. Gus Halim dengan nada agak berkelakar tapi sejatinya menarik, mengatakan bahwa sebetulnya Jawa Timur membutuhkan model “local wisdom” dalam membangun semangat kepemimpinan yang damai dan berkelanjutan. “Kepemimpinan semacam itu hanya bisa dilakukan kalau dibangun dengan semangat keberlanjutan. Menjadikan gubernur sebelumnya menjadi bagian membangun Jawa Timur selanjutnya, sehingga gagasan baik yang ada tidak berhenti. Model kepemimpinan seperti itu bisa melihat apa yang ada pada NU, seperti “Dewan Syuro”. Sebagai dewan musyawarah. Memberi masukan kepada pemimpin Jawa Timur selanjutnya, kata Gus Halim.
Pak Dhe kemudian memberikan ilustrasi beberapa model kepemimpinan di beberapa negara di Asia Tenggara. Filipina dalam pergantian kepemimpinan sebagaimana juga Thailand, seringkali dilakukan dengan mengambil kekuasaan dengan cara yang inkonstitusional. Sehingga tidak ada keberlanjutan kepemimpinan. Singapura bisa menjadi model, perdana menteri yang digantikan, tidak dilepas begitu saja, tapi dijadikan semacam dewan penasehat.
Nah, sejatinya apa yang dilakukan di Singapura bisa menjadi “local wisdom” bagi Jawa Timur, sehingga apa yang dilakukan di Jawa Timur, bisa menjadi model kepemimpinan nasional.
Mikul Duwur Mendem Jero
Sejatinya gagasan mengharmonikan kepemimpinan merupakan tradisi yang jauh hari sudah ditanamkan oleh para leluhur kita . Gagasan “Mikul Duwur Mendem Jero” sebuah tradisi bagaimana mengubur kesalahan dan mengangkat kehormatannya dengan tidak melupakan jasa baiknya. Yang baik dijadikan bagian membangun keberlanjutan agar terjadi harmonisasi.
Di tengah menipisnya moral kepemimpinan yang cenderung mendahulukan ego dan melupakan jasa baik para pendahulu, gagasan seperti ini terasa menjadi “oase” bagi Jawa Timur yang damai.
Menguatkan Pendidikan Karakter
Indonesia merupakan negara yang beraneka ragam kebudayaan dan adat istiadat yang harus dijunjung tinggi seperti budi pekerti dan berhati luhur harus terus dilestarikan. Namun sayangnya saat ini terasa sekali rasa kebangsaan kita sudah semakin menipis. Saling cela, saling melemahkan bahkan kadang saling menyerang.
Tawuran antar pelajar, kebut-kebutan di jalan, menjadi sajian setiap hari yang bisa kita saksikan. Situasi seperti ini menandakan kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya saling curiga dan kebencian antara sesama.
Untuk mencegah menipisnya moral yang bertambah parah, maka pendidikan karakter harus lebih dikuatkan baik di lingkungan formal, informal maupun nonformal. Ada satu peribahasa Jawa yang tepat untuk mendidik karakter anak bangsa yang sudah mulai hilang rasa hormatnya pada orang tua, yakni “mikul dhuwur mendhem jero”. Mikul dhuwur mendhem jero diartikan meninggikan atau menonjolkan kelebihan serta kebaikan keluarga dan menutupi kekurangan atau keburukan keluarga.
Namun peribahasa tersebut sebenarnya memiliki makna sangat dalam, yakni “njunjung drajade wong tuwa” (menjunjung tinggi derajat dan harkat martabat orang tua). Peribahasa ini mengajarkan kita agar mampu menjunjung tinggi derajat dan harkat martabat orang tua, tidak membuat aib dan cela untuk mereka.
Selain itu kita harus bisa menghargai serta menghormati orang tua. Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun juga dalam arti yang lebih luas, yakni orang yang lebih tua, pemimpin, tokoh masyarakat dan sebagainya.
Kembali kepada para pemimpin Jawa Timur ke depan, dibutuhkan kecerdasan rasa dalam membangun model pemerintahan yang mampu mengharmonikan seluruh komponen yang ada, dengan menjadikan kebudayaan sebagai pintu mengasah rasa “mikul duwur mendhem jero”.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net