Suaramuslim.net – Isu tentang negara Islam adalah ciptaan PKI guna mempertentangkan Islam dan Pancasila. Tidak mungkin seseorang bisa berjiwa komunis sekaligus Pancasilais. Karena cita-cita komunis justru ingin menghilangkan agama. Kalau pun mereka beragama, itu hanyalah kedok semata (Jend. A.H. Nasution)
Politik Adu Domba: Saling Menghilangkan Eksistensi
Sejarah yang dilihat Nasution dan diungkapkan dalam kalimat di atas seolah sedang berulang, dimana antar elemen umat Islam sedang dihadap-hadapkan untuk saling dibenturkan saling menghilangkan eksistensinya. Isu umat Islam ingin mendirikan negara Islam dengan memperjuangkan khilafah di satu sisi, dibenturkan dengan kelompok lain yang mendukung Pancasila dan NKRI di sisi yang lain. Padahal Pancasila lahir dari pemikiran para pejuang dan ulama. Mereka berijtihad dengan menggali sumbernya dari nilai-nilai Islam. Dengan demikian Islam dan Pancasila bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan tetapi sangat berpotensi besar untuk didekatkan.
Upaya untuk mempertentangkan dan konflik antar umat Islam terus direkayasa dengan berbagai cara, sehingga masing-masing pihak tersulut. Saat ini yang bisa diambil sebagai contoh untuk mengadu domba antar umat Islam adalah kasus pembakaran bendera berlafadz kalimat tauhid. Banser dipilih sebagai pembakar bendera, dan bendera yang dibakar dicari narasi dan pembenarnya. Ketemulah bendera yang diklaim sebagai bendera HTI. Bendera HTI dianggap sah untuk dibakar karena ormas ini membawa ideologi khilafah dan membahayakan negara.
Respon atas pembakaran itu benar-benar muncul dan berhasil menyulut amarah umat Islam. Makian, laknat dan pengkafiran sempat muncul untuk menyudutkan pembakar bendera itu. Ketika api amarah masih kecil, pihak pendukung Banser, dalam hal ini PBNU dan pemerintah, melalui Menkopolhukam, mereka seolah kompak melakukan pembelaan dan menyatakan bahwa aksi pembakaran itu sudah benar. Aksi pembakaran itu untuk menjaga marwah “kalimat tauhid” dari hinaan kelompok yang berbahaya bagi negara.
Tidak membutuhkan begitu lama, maka muncul reaksi umat Islam dengan respon yang lebih besar dan massif. Berbagai pernyataan, pidato, dan tulisan menyudutkan pembakar bendera dan pendukungnya. Bahkan tabligh akbar di berbagai daerah di seluruh Indonesia seolah muncul dan bergerak demikian besar. Gelombang protes dan kecaman muncul di berbagai media. Berbagai atribut, mulai dari kaos, topi, spanduk dan banner yang bertuliskan kalimat tauhid muncul di tengah aksi guna menampilkan ancaman besar terhadap Islam.
Dengan demikian, kontestasi pertarungan antara pendukung khilafah dan Pancasila semakin panas dan memuncak. Seolah-olah dua kelompok ini berhadap-hadapan dan sulit dipersatukan. Perkembangan media sosial yang demikian pesat ikut serta dalam mempercepat memanaskan situasi ini. Generasi milenial yang menyandarkan pada media massa ikut masuk arus tajamnya kontestasi ini.
Untuk lebih memanaskan situasi, lembaga riset ikut serta secara intensif dalam memperlebar pertentangan dengan mengungkapkan adanya prosentase kelompok pendukung proyek khilafah yang semakin besar, khususnya di kalangan pemuda. Gerakan intensif juga dilakukan untuk menggerakkan kelompok pendukung ideologi Pancasila dan NKRI. Pancasila dan NKRI harga mati terus didengungkan dan diperbesar gaungnya, serta siap menghadapi kelompok-kelompok radikal yang dianggap sebagai ancaman negara.
Membangun Kesadaran Publik
Dengan adanya konflik ini, maka umat Islam disibukkan dengan pertentangan dan perseteruan yang seolah tak berujung. Umat Islam tidak lagi fokus untuk memperjuangkan penegakan hukum bagi mereka yang menyalahgunakan kekuasaan, seperti korupsi atau kasus-kasus besar yang menerpa para penegak hukum dan penyelenggara negara. Kasus korupsi yang menimpa para penegak hukum dan penyelenggara seolah lepas dari pengawasan dan hilang oleh kesibukan umat Islam dalam konflik. Kasus “buku merah” KPK, korupsi yang melibatkan orang nomor satu di Polri hingga temuan BPK yang melibatkan pemangku tertinggi negara ini benar-benar hilang dalam ingatan publik.
Dalam konteks ini dibutuhkan kelompok masyarakat yang senantiasa sadar dan masih netral dalam melihat realitas terkoyak-koyaknya negeri ini karena konflik yang berkepanjangan. Kelompok penengah dan tidak masuk dalam arus pertentangan merupakan hal yang diharapkan. Kehadiran ormas Muhammadiyah yang dianggap masih bisa memainkan sebagai kelompok tengah layak didorong, guna mampu meredam suasana internal umat Islam yang memanas. Pertemuannya dengan MUI dan pemimpin ormas Islam benar-benar mengurangi api liar yang terus membakar emosi umat.
Dorongan Muhammadiyah dan tokoh-tokoh di MUI untuk mempercayakan kasus pembakaran bendera tauhid, dan melaporkan kepada pihak yang berwajib patut untuk direspon positif. Pentingnya mengajak kaum muslimin dan masyarakat secara umum untuk percaya kepada penegak hukum agar memprosesnya secara hukum merupakan solusi yang elegan dan mengurangi resiko benturan antar umat. Ongkos sosial yang ditimbulkan oleh konflik ini sangat besar. Di samping merugikan umat Islam juga akan berbahaya bagi eksistensi negara yang dikuasai oleh para politisi penjual aset negara kepada aseng dan asing.
Dengan kata lain, kekhawatiran terhadap kelompok radikal yang akan mengganti ideologi Pancasila akan terus didengungkan, dan support terhadap kelompok yang melawan khilafah juga akan terus digalang, sehingga umat Islam tidak lagi menikmati kedamaian dan keadilan. Ancaman terhadap ideologi adalah rekayasa untuk terus mempertentangkan antara komponen umat Islam. Ini tidak lain adalah kerja keras kelompok PKI yang menginginkan situasi konflik. Dalam situasi konflik seperti ini mereka mengambil keuntungan untuk menghempaskan Islam di bumi Indonesia ini.
Benar ungkapan Jenderal Nasution bahwa isu tentang negara Islam (khilafah) merupakan ciptaan PKI untuk mempertentangkan Islam dan Pancasila. Tidak mungkin seseorang bisa berjiwa komunis sekaligus Pancasilais. Karena cita-cita komunis justru ingin menghilangkan agama.*
*Ditulis di Surabaya, 2 November 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net