Mengurai Benang yang Ditenun

Mengurai Benang yang Ditenun

sejarah perjuangan

Suaramuslim.net – Pernahkah kita membayangkan bagaimana benang-benang yang sudah dipintal lalu diurai kembali. Tentu benang yang sudah hampir menjadi kain itu mengalami kerusakan, kembali menjadi serpihan benang yang tak berbentuk. Pekerjaan yang sudah dilakukan berhari-hari memintal terasa sia-sia, karena tak berwujud menjadi kain yang diinginkan. Kecewa dan tak puas, jelas akan mewarnai perasaan.

Mengapa orang melakukannya?

Bisa jadi orang tersebut merasa kecewa terhadap hasil pintalan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, atau memang ada persoalan di dalam dirinya sebagai “borderless”, rapuh. Kadang juga bisa karena tak memahami arti sebuah pintalan, sehingga cenderung tergesa-gesa, berpikirnya pendek dan mengedepankan prasangka, yang pada akhirnya tak mampu menghargai sebuah proses yang harus dijalani.

Dalam kehidupan sosial, tak jarang kita jumpai perilaku yang seperti itu. Jalan perjuangan seringkali kandas di tengah jalan, karena seringnya terlihat orang-orangnya tak sabar menjalani proses. Akibatnya banyak melakukan aktifitas yang kontra produktif, memaksakan kehendak, ibarat mengurai benang yang sudah ditenun. Hal seperti ini dapat kita lihat kalau dalam dunia pendidikan, orang tua sudah mendidik anaknya dengan baik, namun di sekolah tidak dilakukan hal-hal baik bagi anak. Begitu juga sebaliknya.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia banyak sekali kita baca kisah heroik perjuangan, namun kandas di tengah jalan, karena ketaksabaran dan ketakmampuan melihat jangka panjang sebuah perjuangan. Sikap pragmatis dan merasa harus saya yang melakukan, akhirnya menjadikan perjuangan terberai dan terbenam saling melemahkan.

Bagaimana Menghindarinya?

Saling mengenal dan saling memahami adalah jalan menghindari keterberaian. Tentu tidak mudah agar bisa saling mengenal dan memahami, karena dibutuhkan kerelaan untuk bisa menerima dan membuka ruang untuk percaya.

Pengalaman dan kedewasaan bersikap sangat menentukan harmoni ritme sebuah perjuangan. Bukankah kalau pengalaman masa lalu terlatih untuk selalu menjaga komitmen, maka akan berpengaruh pada sikap selalu menjaga arah pada tujuan yang diperjuangkan. Inilah yang disebut dengan komitmen.

Begitu juga sebaliknya, bila pengalaman masa lalu kita kurang sabar, terbangun oleh sikap yang saling mencurigai, karena bukan tidak mungkin kita pernah melakukan hal negatif yang layak dicurigai, sehingga kita mengukur perilaku orang lain sebagaimana kita pernah melakukan.

Intensitas interaksi dan saling membangun komunikasi yang dialogis dan terbuka merupakan jalan yang bisa menguatkan, namun juga harus didukung oleh sikap yang rela untuk bisa menghormati. Mampu menjaga nafas panjang perjuangan dan yang terpenting bisa melihat persoalan dalam jangka yang lebih panjang dan luas.

Kisah tentang perjuangan dan komitmen dilakonkan dengan apik oleh Ibrahim, Hajar dan Ismail. Ketika diperintahkan Allah untuk membawanya ke sebuah tempat, Ibrahim lalu menjalankannya dengan mengajak istrinya yang baru melahirkan, Hajar dan Ismail putranya.

Berhentilah Ibrahim bersama istrinya dan Ismail ke sebuah lembah yang tandus dan sepi. Hajar bertanya kepada Ibrahim, “mengapa kamu bawa aku bersama anakmu ke tempat ini? Apakah ini perintah?” Nabi Ibrahim tidak menjawab, karena memang ia tak sanggup menjawab. Sampai pertanyaan ketiga, barulah Ibrahim menjawab bahwa ini adalah perintah.

Ibrahim mampu membangun komitmen, sehingga apapun yang diperintahkan, ia akan jalankan, ia yakin bahwa yang diperintahkan pastilah baik bagi dirinya. Ibrahim sudah terlanjur percaya dengan yang memerintahkannya. Hajar juga begitu, dia sudah terlanjur percaya kepada Ibrahim, sehingga ajakan Ibarahim selalu dikabulkan. Hajar mengenal betul bahwa Ibrahim merupakan sosok yang tegas dan tak pernah berbohong.

Nah kawan, sikap kita memperlakukan orang lain sangat dipengaruhi oleh pengalaman kita. Untuk menghindari sikap berlebihan yang diibaratkan mengurai kembali benang yang sudah ditenun, sejatinya bergantung pada cara kita mengelola diri. Sikap tergesa, tak sabar dan merasa diri penting, tak mampu melihat masalah dengan menggunakan cara pandang yang jauh, sesungguhnya akan merusak jalan mencapai tujuan perjuangan.

Semoga saja kita bisa dihindarkan!

*Ditulis di Surabaya, 23 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment