Pada saat PERPUU tentang Ormas disahkan menjadi UU, walaupun ada frasa penghibur “akan direvisi setelah menjadi UU”, Republik ini kian menjadi negara polisi, menjauh secara perlahan dari negara hukum. Peristiwa ini sebetulnya tidak mengejutkan karena negara yang sedang lapar investasi akan harus mengurangi kebebasan sipil.
Investor asing menghendaki jaminan kepastian pasar yang ramah terhadap mereka. Bahkan AS yg konon menjadi kampiun demokrasi, di bawah Trump -seorang pengusaha investor – makin menjadi negara polisi. Tahun 2017 ini saja, polisi AS telah menembak mati 7 ribu warga mereka sendiri karena berbagai alasan, sementara polisi Inggris telah menembak mati kurang dari 70 orang selama 20 tahun terakhir ini. Kita bisa hitung berapa WNI yang mati di tangan polisi selama 2017 ini. Keamanan (kepastian investasi) secara umum harus dibangun dengan cara mengorbankan kebebasan sipil.
Sikap pemerintah yang lapar investasi akan menunjukkan perilaku yang sama ini. Namun sikap memolisi masyarakat sipil ini sudah dimulai jauh lebih awal, yaitu pengontrolan pikiran warga negara secara diam-diam melalui sistem persekolahan yang pada hakekatnya adalah sistem persekolahan paksa massal atau mass forced schooling.
Melalui kurikulum nasional yang ditetapkan pemerintah, cara berpikir warga negara diawasi dan dibentuk sesuai dengan harapan investor. Investor mengharapkan warga yang patuh dan berdisiplin serta mudah diatur. Masyarakat yang cerdas dan bebas berpikir serta berjiwa merdeka akan sangat mengganggu investasi. Saat ini kita sudah menyaksikan, seperti dikatakan Buya Syafii Ma’arif, bahwa ekonomi kita makin terjajah karena dikuasai oleh pemodal besar asing.
Misi terpenting pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah menumbuhkembangkan jiwa merdeka sebagai syarat budaya bagi Proklamasi Kemerdekaan 17/8/1945. Jiwa merdeka lebih penting daripada kompetensi teknikal industrial.
Dalam perspektif itu, pada saat DPR menyetujui PERPUU Ormas menjadi UU, DPR bersama Kemendagri dan persekolahan paksa massal semakin membuktikan diri sebagai lembaga yang jauh lebih membahayakan Pancasila daripada HTI.
Sukolilo, 25/10/2017
Daniel Mohammad Rosyid