Menjaga Lisan dan 3 Dosa Bersaudara Melalui Puasa

Menjaga Lisan dan 3 Dosa Bersaudara Melalui Puasa

Ilustrasi dua orang saling berbicara. Ils: islami.co

Suaramuslim.net – Titik lemah manusia ada 3; mata, lidah, dan kemaluan. Terkait lidah atau lisan ini begitu berbahayanya hingga Allah mengutus secara khusus malaikat pencatat lisan yang terucap oleh lidah.

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (Qaaf: 18).

Dan juga di surat Al-Fajr 14;

إِنَّ رَبَّكَ لَبِٱلۡمِرۡصَادِ

Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.

Adapun hadis-hadis Nabi Muhammad banyak memberikan nasihat agar manusia bisa menjaga lisannya.

“Muslim sejati adalah yang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Muslim No. 64 dengan redaksi:

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik?” Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”

Adapula riwayat Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, hadis No. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Itulah peringatan Allah dan Rasul-Nya terkait menjaga lisan. Dan dalam menjaga serta memelihara lisan itu bersifat menyeluruh kepada semua aspek, baik aspek yang terkait hubungannya dengan Allah, Rasul-Nya maupun dengan manusia lainnya.

  1. Menjaga lisan dalam aspek hubungannya dengan Allah, dari perkataan yang mengarah kepada kekufuran kepada-Nya;
    Mulutnya kotor dengan menghina kalam Allah atau menghina syariat-Nya.
    Suudzon dengan Allah karena doa-doa yang tidak kunjung datang sesuai harapan.
  2. Menjaga lisan pada aspek hubungannya dengan Nabi Muhammad dari perkataan yang menghina beliau.
  3. Menjaga lisan ini pada aspek hubunganya dengan orang lain dari perkataan yang mengarah kepada;
  • Kebohongan atau suka berdusta

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong).”

  • Melakukan “Dosa Tiga Bersaudara” yang menjadikan lisan dan hati manusia rusak

Pada akhirnya amalannya pun menjadi “ghosting.” Dosa Tiga Bersaudara itu adalah: suudzon, tajassus dan gibah.
Perhatikan Firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12).

Ayat di atas kalau direnungi sungguh membuat manusia akan semakin sayang kepada sesamanya. Ayat tersebut membeberkan dosa yang saling bersaudara atau berkaitan satu dengan lainnya.

Ketika seseorang sudah berprasangka buruk kepada saudaranya, maka ia akan kepo untuk mencari-cari keburukan saudaranya, itu dalam bahasa Al-Qur’an disebut tajassus (ngepoin temen). Dan ketika sudah berhasil menemukan keburukannya maka ia perbincangkam kepada yang lain, inilah namanya gibah, puncak dosa lisan yang dilakukan seorang manusia.

Begitu beratnya dosa ini konon dosa gibah ini lebih berat daripada dosa zina.

Gibah itu lebih berat dari zina. Seorang sahabat bertanya, ‘Bagaimana bisa?’ Rasulullah menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku gibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang digibahnya.’ (Ath-Thabrani).

So, tidak hanya itu saja, bahkan orang bergibah itu seperti ia telah mengurangi kesalehan amalnya, karena semua amal salehnya akan diberikan kepada yang digibah, bahkan kalau yang menggibah tidak punya amal saleh, maka keburukan yang digibah akan ditransfer kepadanya.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal saleh maka akan diambil seukiran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudian dibebankan kepadanya.” (Al-Bukhari No. 2449).

Karena itu ulama sepakat haramnya gibah!!

Bagaimana cara menghapus dosa gibah ini?

Ada dua cara menghapus dosa gibah yang terkait dengan kondisi kebatinan orang yang digibah.

  1. Jika meminta maaf dan menjelaskan gibahnya kepada yang digibah itu tidak menimbulkan masalah, tidak menambah persoalan, maka meminta halal atas kesalahan gibah kepada orang yang digibah adalah suatu kewajiban. Sebagaimana hadis Al-Bukhari 2449 di atas.
  2. Namun jika poin a di atas terjadi sebaliknya, yaitu suasana kebatinan orang yang dighibah itu emosian dan justru kalau berbicara itu akan membuatnya semakin marah, memutus hubungan, maka tidak perlu berkata apapun kepadanya, cukup mendoakan kepada Allah agar ia diampuni dosa-dosanya.

“Tebusan gibah adalah engkau memintakan ampun untuk orang yang engkau gibahi.” Sudah tentu banyak istigfar dan taubat.

Cara menghindari gibah

  1. Banyak mengingat bahwa semua omongan kita itu tercatat di sisi Allah.
  2. Banyak berzikir dan tilawah Al-Qur’an
  3. Banyak mengingat kekurangan diri saja dan menganggap orang lain lebih

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (Az-Zuhd war Raqaiq Ibnul Mubarak, 211).

Ada atsar lainnya, Abdullah Al Muzani mengatakan, “Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah.

Jika ada orang lain yang lebih tua darimu maka seharusnya engkau katakan: “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal saleh dariku maka ia lebih baik dariku.”

Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.”

Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” (Hilyatul Auliya, 2/226).

Saya tutup tulisan ini dengan renungan Surat Yasin ayat 65 dan kisah bantal dari bulu angsa.

ٱلۡيَوۡمَ نَخۡتِمُ عَلَىٰٓ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَتُكَلِّمُنَآ أَيۡدِيهِمۡ وَتَشۡهَدُ أَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.

So… Di era digital bukan lisan yang banyak berucap, tapi jari jempol yang berperan membuat sakit hati manusia lainnya.

Dan ketika keburukan sudah dibagikan ke mana-mana seperti bulu angsa yang bertebaran dari bantal, bisakah semua bulu itu dikembalikan lagi ke bantalnya?

So, setop gibah!

Wallahu A’lam

 

M Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya
22 April 2021/10 Ramadhan 1442 H

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment