Suaramuslim.net – Selama bulan suci Ramadan, kaum muslim tak henti-hentinya mengingat, menyebut, serta menggagungkan nama Tuhan dan sifat-sifat kebesaran dan kemuliaan-Nya. Nama Tuhan dan sifat-sifat Agung-Nya selalu terus diingat, disebut, dan diresapi dalam setiap riak perasaan, relung hati, gerak pikiran, dan tindak perbuatan.
Diskusi dan berbagai wacana keagamaanpun diselenggarakan di kampus-kampus perguruan tinggi demi memuliakan bulan Ramadan, mendalami ilmu agama, hingga membesarkan nama-Nya. Tidak ketinggalan juga, pesantren kilat atau pondok Ramadan pun diselenggarakan di semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA. Sehingga atmosfir Ramadhan serta pemuliaan nama Tuhan sangat begitu terasa.
Setiap saat pada bulan Ramadan, nama Tuhan diingat, disebut, dan dimuliakan dalam prosesi dzikir, wirid, itikaf, dan tadarus Al Quran, baik di rumah, surau, maupun masjid. Kemahabesaran, Kemahasucian, Kemahaagungan Tuhan disebut dalam berbagai khutbah salat Jum’at, kultum, mauizhah hasanah, tausiyah menjelang berbuka maupun sebelum salat Tarawih dan sesudah salat Shubuh.
Setelah Ramadan, seorang muslim memiliki dua pilihan; beruntung atau buntung (dalam ketakwaan). Faktanya, berbagai macam kondisi ketakwaan kita selepas menjalankan ibadah puasa, ada yang merasa bahwa Ramadan adalah momentum untuk meningkatkan dan mempertahankan ketakwaan. Di satu sisi ada yang menganggap bahwa bulan Ramadan layaknya bulan-bulan pada umunya (biasa saja).
Esensi Ramadan sejatinya merupakan momentum spesial ‘karantina suci’ satu bulan penuh yang Tuhan anugerahkan untuk orang-orang yang di dalam hatinya terdapat iman yang mengakar. Yang kemudian menggembleng jiwa-jiwa yang beriman untuk menjadi lebih unggul, dan mendapatkan gelar ‘honoris causa’ suci dari Allah Swt. berupa ketakwaan tanpa batas.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, marilah kita membaca ulang tentang makna takwa itu sendiri.
Para ulama telah banyak yang memberikan pengertian tentang takwa, di antaranya adalah perkataan Thalq bin Habib r.a, beliau mengatakan, “Takwa yaitu melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan ilmu yang datang dari Allah semata-mata mengharap ridha dari-Nya. Dan meninggalkan kemaksiatan berdasarkan ilmu yang datang dari Allah karena takut akan adzab-Nya.”
Dan dari firman Allah Swt dalam QS Al-Ahzab: 70-71
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. dan siapa saja mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (Al-Ahzab: 70-71).
Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa pentingnya menjaga ketakwaan, itu bukan hanya pasca Ramadan, tetapi sebelum ataupun jauh sesudahnya. Sebab dengan menjaga takwa dalam hati, kemudian dipelihara dengan baik, niscaya dengan seizin-Nya takwa itu dapat memberikan pengaruh positif terhadap siapapun yang merawatnya, yakni berupa akhlakul karimah, dan menjadi insan kamil yang berbudi pekerti lagi shalih.
Lalu, mengapa selepas Ramadan, takwa itu -secara tak terasa- dapat menghilang dan sirna dari diri manusia?
Merespon fenomena yang terjadi, ketika korupsi, perjudian, kriminalitas kambuh lagi. Muda-mudi yang kembali memadu kasih bersama kekasih yang belum halal yang kemudian berzina secara senyap, lebih-lebih secara terang-terangan, publik figur (wanita) yang kembali meperlihatkan auratnya pasca Ramadan, dan berbagai fenomena lainnya yang kembali menerobos rambu-rambu Ilahi setelah Idul Fitri.
Dalam menanggapi hal tersebut, Nabi Saw bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali lapar dan dahaga.” (HR. At-Turmudzi)
Oleh karenanya, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam menjaga dan merawat ketakwaan, di antaranya:
1. Memperbaiki hubungan dengan Allah
Kita ketahui bersama bahwa shalat adalah tiang agama, jika seorang muslim bolong-bolong dalam shalatnya atau terlebih sengaja tidak mengerjakannya, maka dapat dipastikan hatinya tidak akan tentram, selalu diliputi perasaan yang gelisah, serta dalam hidupnya tidak memiliki arah langkah yang jelas dan terarah. Oleh karenanya, dengan memperbaiki hubugan kita dengan Allah secara kontinyu dan istiqamah, seperti salat, puasa, sedekah, serta amalan sunnah lainnya, sudah barang tentu dapat meningkatkan kualitas iman dan takwa kita.
2. Berpegang teguh dengan Al Quran dan Al Hadis
Kedua hal ini merupakan pedoman hidup umat Islam. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk dan aturan, baik yang berhubungan dengan ukhrawi maupun duniawi. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 52.
“Sungguh, Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
3. Berkumpul dengan orang-orang salih
Dalam sebuah hadis, Nabi Saw bersabda, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk, ibarat seorang penjual minyak wangi dan teman yang buruk ibarat seorang pandai besi. Penjual minyak wangi itu akan memberi atau membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, boleh jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap” (HR Bukhari-Muslim).
Saya pikir hadis Nabi SAW di atas sudah jelas, bahwa jika kita ada di lingkungan orang-orang yang shalih, kita pun -secara otomatis- akan mengikuti jejak langkahnya menuju ketakwaan pada-Nya. Sebab, takwa yang sempurna dan paripurna adalah istiqamah dan sabar dalam menjalankan segala bentuk perintah dan larangan-Nya dengan ikhlas dan sepenuh hati.*
*Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net.