Menjalankan kurikulum rumah

Menjalankan kurikulum rumah

Artikel ini disarikan dari program Mozaik Suara Muslim Radio Network.

Suaramuslim.net – Mengapa kita membutuhkan kurikulum rumah?

Membuat kurikulum keluarga adalah wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT sebagai hamba yang dipercaya mengemban amanah melahirkan generasi masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, kita harus kembali melakukan tazkiyatun nafs (membersihkan jiwa) dengan mempertanyakan kembali tujuan kita berketurunan.

Kisah Nabi Zakaria yang fenomenal telah memberikan pelajaran yang teramat berharga untuk kita. Nabi Zakaria tidak pernah lelah memohon dengan sangat kepada Allah SWT agar diberi karunia keturunan, dengan tujuan melanjutkan kebaikan bukan hanya kebaikan dirinya, tapi juga kebaikan Nabi Ya’qub, Nabi Sulaiman dan kebaikan para nabi.

“Yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (Q.S. Maryam: 6).

Semua orang tua yang shaleh akan memikirkan warisan terbaik untuk keturunan mereka. Dan warisan terbaik bagi keturunan orang shaleh adalah ilmu dan iman yang kuat pada keturunan mereka. Warisan harta dan keduniawian lain, hanya akan menjadi pertanggungjawaban yang berat kelak di akhirat.

Barangsiapa (hamba) yang menyerahkan semua urusannya kepada sang Khaliq, maka kehidupan hamba ada dalam genggaman-Nya. Itulah keindahan hidup yang akan diperoleh saat di dunia hingga ke akhirat.

Berbagi tugas kurikulum rumah

Mendesain kurikulum rumah bertujuan agar visi misi keluarga menjadi lebih terencana dan terukur.

Peran ayah sebagai perancang kurikulum secara global, mencari dan menciptakan jaringan, dan tentu menjamin kebutuhan dan kesejahteraan keluarga.

Peran ibu sebagai menjadi content creator kurikulum agar bisa diimplementasikan secara detail. Sedangkan pelaksanaan proses kurikulum rumah, peran ayah dan bunda adalah sebagai pembimbing dan fasilitator yang disesuaikan dengan kebutuhan usia anak.

Para ulama menyampaikan urutan kurikulum pendidikan rumah sebagai berikut. Pertama, kurikulum penguatan ruh/ruhiyah. Kedua, kurikulum penguatan akal/aqlani. Ketiga, kurikulum penguatan fisik/jasmani.

Mengapa demikian?

Kekuatan ruhani merupakan sebuah berkah yang mampu memahami kebutuhan dasar manusia adalah keamanan dan ketenteraman, dunia dan akhirat. Maka orang tua akan meninggalkan generasi rabbani dan kokoh akidah, yang pastinya akan menguatkan akal dan fisik mereka.

Sedangkan urutan dalam mengajari keilmuan, para ulama kita menyampaikan keutamaan ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, sejarah (sirah), dan Al-jabar.

Karena kurikulum rumah dijalankan di rumah, maka semua pribadi yang ada di rumah adalah guru bagi anak-anak kita. Oleh karena itu, salah memasukkan pribadi ke dalam rumah kita akan menjadi cobaan proses pendidikan yang dijalankan oleh para orang tua.

Jika kita diberikan rezeki yang berlebih oleh Allah SWT dan mampu menghadirkan pribadi yang membantu pekerjaan dan mengurus anak-anak di rumah, maka kewajiban kita adalah memberikan pendidikan yang baik dan benar kepada mereka. Semakin baik dan benar, maka mereka akan mudah berkolaborasi dengan kita dalam meraih suksesnya visi dan misi pendidikan di keluarga.

Menumbuhkan demokrasi

Menumbuhkan lingkungan demokratis dalam proses pendidikan di rumah akan melahirkan suasana belajar tanpa tekanan. Bahasa pengasuhannya dikenal dengan model Parenting Authoritative.

Memilih model pengasuhan ini berarti orang tua harus menumbuhkan pemahaman konsep diri, minimal anak memahami apa yang ia butuhkan dan apa yang tidak diperlukan oleh dirinya.

Melibatkan anak dalam merumuskan solusi, merumuskan peraturan rumah dan konsekuensinya, membuka ruang diskusi yang tidak mendahulukan sikap mencari kesalahan pihak tertentu.

Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan kesepakatan dari dua pihak, antara orang tua dan anak diberlakukan dengan hukum yang sama pada hal-hal yang melahirkan kebiasaan perilaku. Misalnya, wajib shalat lima waktu, hemat listrik dan air, disiplin penggunaan alat elektronik, dan perilaku lain yang terukur.

Konsekuensi dari kesepakatan bisa berukuran sama atau berbeda sesuai dengan perkembangan psikologis dari semua anggota keluarga.

Ruang demokrasi yang terbuka, diharapkan menghadirkan keluasan sudut pandang dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Diskusi yang diciptakan bukan mencari pembenaran tetapi lebih fokus mencari kebenaran, yang bersumber pada Al-Qur’an, hadis, dan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan sanad (ketersambungan pemikiran dan ahli ilmu) dan isinya.

Semua persoalan, sebaiknya diarahkan dengan referensi utama Al-Qur’an, hadis, dan kisah para sahabat Rasulullah atau yang kita kenal sebagai Sirah Nabawiyah.

Rumahku surgaku

Menciptakan rumah sebagai surga, tentu merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua. Bagaimana rumah bisa menjadi surga?

Seperti halnya para nabi, sahabat, dan tabi’in, semua pribadi yang diberkahi itu selalu menjadikan rumah mereka sebagai tempat ibadah. Keteladanan dan kepercayaan menjadi menu keseharian dalam berkehidupan.

Mendekatkan generasi dengan tempat dan lingkungan yang baik juga menjadi jalan mereka untuk menanamkan akidah dalam hati generasi mereka.

Bagaimana generasi kita akan menjadi generasi yang tenang, jika mereka hidup dalam kondisi rumah yang tidak menyenangkan dan tidak menenangkan?

Wallahu a’lam bish shawwab.

Ustadzah Hamdiyatur Rohmah
Disampaikan dalam talkshow MOZAIK
Jumat 4 Februari 2022

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment