Suaramuslim.net – Komedi dan akrobat elite politik para pendukung petahana sudah mulai terlihat kasat mata dan tidak lagi menggunakan akal sehat. Dikatakan akrobat politik secara kasat mata, karena aktivitas kenegaraan telah digunakan sebagai momentum untuk mendukung petahana yang akan maju sebagai calon presiden (capres). Dikatakan tidak menggunakan akal sehat karena ungkapan verbal yang digunakan oleh aparatur negara ini sudah mengancam dan membunuh karakter massa pendukung yang berlawanan dengan petahana. Mempertanyakan siapa yang menggaji para ASN, hakikatnya bahwa presiden sekaranglah yang menghidupi para ASN. Cara-cara Orde Baru, dengan menggunakan kekerasan simbolik, digunakan para pendukung petahana untuk memenangkan pertarungan. Rezim ini bukan saja membunuh akal sehat, guna mempertahankan kekuasaan, tetapi sangat kontraproduktif terhadap demokrasi.
Kehilangan Nalar Akal Tak Sehat
Sebagaimana ramai di media sosial bahwa Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Rudiantara menyindir salah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kementeriannya yang memilih pasangan calon 02 di Pilpres 2019 sebagai orang yang tak tahu diri. Dikatakan tak tahu diri karena memilih pasangan calon (paslon) 2 dan tidak tahu diri karena yang menggaji selama ini adalah pemerintah, yang saat ini menjadi paslon nomor 1. Pernyataan Rudiantara tentu saja membuat adegan blunder. Karena telah membuat dua tindakan sekaligus, pembullyan terhadap pendukung Paslon 2, dan berkampanye terselubung untuk mengarahkan dukungan masyarakat terhadap paslon nomor 1.
Adegan tak menggunakan logika akal sehat itu berawal dari Rudiantara yang meminta ratusan pegawai Kemkominfo untuk memilih stiker sosialisasi Pemilu 2019. Stiker ini akan ditempel di kompleks kementerian. Stiker itu ada dua, desain pertama dengan dasar merah, dan Rudiantara menamainya nomor satu. Sementara desain kedua dominan berwarna putih, dan dia menamainya nomor dua. Ketika ditanya pilih yang mana di antara dua stiker itu, maka sontak karyawan itu mengatakan nomor 2. Setelah mendengar pilihan dan sorakan itu, Rudiantara memanggil salah satu pegawai perempuan yang memilih desain nomor 2 untuk menjelaskan alasannya. Ketika ditanya mengapa memilih nomor 2 maka perempuan itu jawabannya menjurus pada Pilpres 2019. Mendengar jawaban itu sontak suara gemuruh bersorak dan bertepuk tangan.
Seolah di bawah angin, Rudiantara kemudian memanggil pegawai lain yang memilih desain nomor 1 untuk mengemukakan alasannya. Perempuan yang memilih stiker nomor 1 itu berpendapat bahwa memilih nomor 1 karena desainnya bagus. Rudiantara menyatakan menerima alasan perempuan yag memilih nomor ini dan tak terima alasan yang dikemukakan oleh pemilih stiker nomor 2. Dia beralasan bahwa pemilih nomor 2 tidak ngomong soal desain.
Namun, sesaat selesai menetapkan stiker nomor 2, karena mendapatkan suara terbanyak, maka Rudiantara memanggil dan bertanya kepada yang memilih nomor 2 tadi dengan bertanya: “Siapa yang bayar gaji Anda, pemerintah atau siapa?” Rudiantara menjawab sendiri bahwa yang menggajinya bukan paslon nomor 2.
Tentu saja apa yang dikatakan oleh Rudiantara bahwa yang menggaji ASN adalah pemerintah saat ini, justru berpolemik di masyarakat. Logika pendek akan membenarkan bahwa yang menggaji ASN adalah pemerintah. Namun, menkominfo ingin membentuk opini publik bahwa yang menggaji ASN adalah paslon 1, sehingga layak untuk dipilih kembali saat Pilpres 2019.
Tentu saja apa yang dikatakan Rudiantara justru berbanding terbalik, di mana justru pemerintahlah yang digaji oleh rakyat. Rakyat telah membayar pemerintah dari pajak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan negara. Secara sadar atau tidak sadar, rakyatlah yang menggaji pemerintah, bukan sebaliknya. Negara hanyalah sebagai wadah untuk mendistribusikan pajak dan uang, yang bersumber dari rakyat, untuk diarahkan dan didistribusikan untuk kepentingan masyarakat lebih luas.
Kekerasan Simbolik Membunuh Demokrasi
Fenomena “Siapa yang Menggaji Kamu” menunjukkan telah hilangnya kerangka berpikir logis dan lepasnya akal sehat dalam berpolitik. Ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk kepanikan dari kubu petahana karena berbagai realitas di lapangan menunjukkan semakin menurunnya dukungan politik terhadap rezim ini. Di sisi lain, dukungan terhadap paslon 2 terus mengalami kenaikan. Sehingga cara-cara intimidatif ini digunakan untuk menekan lawan politiknya. Kalaupun dilaporkan, kasus Rudiantara ini sepertinya tidak akan diusut alias menguap karena dianggap menguntungkan Petahana.
Hal ini akan berbeda bila dilakukan oleh mereka yang kritis terhadap petahana. Bisa dipastikan akan langsung diproses secara hukum. Tidak salah bila hukum saat ini sering berpihak pada yang berkuasa. Alih-alih melindungi kebenaran, UU ITE kerap dipakai oleh mereka yang berkuasa untuk membungkam suara yang kritis terhadap dirinya. Publik dibuat takut bersuara lantang, dan kritik bisa dipidanakan dengan tafsir memfitnah dan pencemaran nama baik.
Dalam konteks ini, hukum akhirnya disibukkan untuk meladeni ketersinggungan. Urusan remeh bisa berakhir pemenjaraan sebagaimana yang diancamkan terhadap Rocky Gerung dengan pasal yang dicari-cari. Logika akal sehat benar-benar dikesampingkan dan diganti dengan tindakan dan perilaku membunuh daya kreatif anak bangsa yang memberi catatan kritis terhadap rezim. Sementara rezim ini telah menggunakan pendekatan intimidatif dan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net