Menuduh Santri

Menuduh Santri

santri bukan teroris alasan keamanan

Suaramuslim.net – Syahdan setelah terbunuhnya Tunggul Ametung, segera setelah itu Ken Arok memburu Kebo Ijo dan membunuhnya. Rakyat mengelu-elukan Ken Arok sebagai pahlawan dan kemudian diangkatlah dia sebagai raja.

Ken Dedes sebagai saksi mata sesungguhnya, tak berani bicara, dia hanya diam dan pasrah menerima nasib yang menimpanya. Ken Dedes tak bisa berbuat apa-apa, kecuali “dendam”. Kelak putranya hasil buah kasih sayangnya dengan Tunggul Ametung yang bernama Anusapati yang akan membalaskan takdirnya.

Jadilah kemudian Ken Dedes sebagai permaisuri Ken Arok, menjalani kisah kasih dengan segala nestapa yang dialami. Hidup bersama sang pembunuh suami. Ken Arok berhasil memperdayai rakyat dengan menggunakan kedigdayaannya, Ken Arok bukanlah pembunuh, Ken Arok adalah pahlawan.

Tak berdaya menyembunyikan kisah yang sesungguhnya, Ken Dedes bercerita kepada putranya Anusapati, buah kasih dengan Tunggul Amaetung. Mengetahui Ken Arok adalah pembunuh ayahnya, darah membuncah dan menyusun siasat untuk membalaskan dendam ayahnya. Akhirnya ditemukanlah alasan dan alibi kuat untuk membunuh Ken Arok sebagaimana dulu Ken Arok membunuh ayahnya.

Nah, setiap peristiwa akan selalu ada masanya, tak akan ada yang bisa menyembunyikan kebusukan, karena kebusukan semakin lama disimpan akan semakin bau.

Selalu ada alasan pembenar

Dalam setiap peristiwa kehidupan, setiap orang akan selalu berupaya mencari dalih pembenar atas sebuah sikap yang dilakukan. Suatu saat ketika kita harus melakukan aksi, maka kita mesti harus mencari alasan pembenar dan rasional mengapa kita melakukan. Sehingga sejatinya tidak ada yang kebetulan dalam sebuah rangkaian aksi yang dilakukan oleh pemilik aksi. Hal yang kebetulan hanya terjadi pada penerima dampak pada aksi kita.

Sebagai contoh peristiwa aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam menyampaikan tuntutannya. Apakah mereka tidak tahu bahwa aksi mereka akan menimbulkan gangguan lalu lintas? Mereka pasti menyadarinya, lalu dicarilah alasan pembenar dari aksinya, agar masyarakat bisa memakluminya. Masyarakat yang sudah menjadi korban pun dipaksa memakluminya bahkan masyarakat pun kadang cenderung dipaksa untuk membenarkannya.

Lalu pernahkah kita membangun personifikasi sesat lainnya seperti yang tertangkap KPK adalah banyak dari oknum pejabat, lalu kita katakan bahwa pejabat itu pasti korupsi? Banyak yang melakukan korupsi itu adalah mereka yang berdasi? Lalu akankah kita katakan bahwa mereka yang berdasi adalah pelaku korupsi? Akankah juga kita katakan partai A adalah partai koruptor, hanya karena banyak kadernya ketika menjadi pejabat mengalami kecelakaan administrasi sehingga terindikasi korupsi.

Suatu yang menyedihkan terjadi, peristiwa pada kaum santri hari ini, mereka menjadi korban stigma yang dikembangkan akibat peristiwa bom Surabaya. Bisa dibayangkan betapa malunya seorang santri yang baru pulang dari pondokan, membawa bungkusan yang berisi pakaian dan kancutnya, dipaksa membukanya di depan publik dengan ancaman senjata aparat, bukankah ini akan membangun stigma yang tidak baik bagi aparat? Dan tidakkah ini akan menimbulkan luka bagi kaum santri diperlakukan seperti itu? Padahal tidak ada korelasi yang membenarkan peristiwa bom dengan kaum santri.

Sejatinya kami bisa memaklumi dengan alasan pencegahan keamanan, tapi tak adakah cara yang lebih beradab dalam pendeteksian dini terorisme? Bukankah terorisme itu kejahatan luar biasa, mengapa cara-cara pencegahannya dilakukan dengan cara konvensional?

Belum selesai peristiwa “kecelakaan santri” muncul lagi stigma bahwa sebuah BUMN milik pemerintah dianggap membela kaum radikal hanya karena takmirnya berjenggot. Logika sesat dibangun mengapa pulsa selalu habis, lalu dikaitkan dengan dana digunakan membantu terorisme. Bukankah kita semua tahu bahwa dana BUMN itu tidak dikelola oleh takmir masjid, dana itu dikelola oleh menteri keuangan.

Kadang terasa terlalu lugu kalau tak boleh dikatakan dungu. Premis dan silogisme yang tak nalar dibangun dan cenderung dipaksakan. Semakin menjauh kita dari pusaran kebenaran, kita menari di atas pusaran kegelapan. Apalagi dentuman ritme memberi kenyamanan ketika berada dalam kegelapan, maka akan semakin larut dan menikmati.

Bolehlah kita mencari pembenar atas sebuah tindakan, tetapi janganlah kita selalu merasa benar. Bukankah pernah terjadi bagaimana Iblis mencari pembenar atas perbuatannya melawan perintah Tuhan untuk menghormat kepada Adam. Iblis merasa lebih mulia, karena diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah. Apa yang terjadi? Iblis mengalami kehinaan.

Cerdas membangun negeri

Bangsa ini sejatinya adalah bangsa yang menghargai perbedaan, bangsa yang menjunjung tinggi kebhinekaan. Mencelakakan santri dengan stigma dungu adalah merupakan kecelakaan kebhinekaan. Membangun negeri sejatinya dimulai dari kemampuan memahami perbedaan, lalu dicari titik temu persamaan.

Cerdas membangun negeri telah menjadi ruh para pendiri bangsa ini. PPKI yang terdiri dari banyak latar belakang, namun bisa melahirkan proklamasi kemerdekaan dan dasar-dasar membangun negara. Kemampuan memahami perbedaan dan mencari persamaan adalah kunci membangun kebersamaan.

Bangsa ini menjadi bangsa yang besar bukan hanya dengan otot, tapi otak menjadi penentu kebesaran bangsa ini. Proklamasi kemerdekaan kita tidak cukup dibangun dengan kemampuan berperang, tetapi kemampuan otak para pejuang, mampu menangkap momentum pembacaan teks proklamasi.

Nah akhirnya tak ada dalam sejarah bangsa ini memaksakan kehendak dan menangnya sendiri menjadi rujukan, karena bangsa ini ditakdirkan ada dengan perbedaan dan kebhinekaan, sehingga membaca ulang sejarah dan memahaminya merupakan upaya mengembalikan bangsa ini ke jalan benarnya.

Tak elok dan tak beradab mengaitkan aksi terorisme terhadap santri dan agama Islam, karena sejatinya Islam dibangun atas sikap Rahmaan dan Rahiim, sikap kasih sayang. Tidak ada agama mengajarkan kekerasan.

“Ketika Umar bin Khattab merebut Yerussalem, ia menjamin hak beribadah kaum Nasrani dan berjanji tidak akan membumi hanguskan gereja mereka. Semua ini adalah secuil bukti bahwa Islam menolak berbagai bentuk perusakan terhadap tempat ibadah dan menebar teror bagi para penganut agama lain”.

*Ditulis di Surabaya, 18 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment