Menyelamatkan Bank Muamalat

Menyelamatkan Bank Muamalat

Menyelamatkan Bank Muamalat

SURABAYA (Suaramuslim.net) – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk resmi mengumumkan empat pihak yang tergabung dalam sebuah konsorsium yang akan menjadi investor bank syariah tertua di Indonesia ini pada Rabu (3/10/2018). Konsorsium itu terdiri dari Komisaris Utama Bank Muamalat Ilham Habibie, Arifin Panigoro, Lynx Asia, dan SSG Hong Kong.

Bank Muamalat sedang membutuhkan suntikan modal untuk bisa membenahi bank dan ekspansi usaha. Bank Muamalat menghadapi masalah permodalan, sejak 2015.

Puncaknya pada 2017, karena rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) turun menjadi 11,58%. Kinerja Bank Muamalat tergerus oleh lonjakan pembiayaan bermasalah (non-performing finance/NPF). NPF bank syariah itu sempat di atas 5%, lebih tinggi dari batas maksimal ketentuan regulator. Akan tetapi, pada kuartal I-2018 NPF bank tersebut membaik ke level 4,76%.

Ilham yang merupakan salah satu pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mengatakan investor baru ini akan masuk melalui skema right issue. Bank Muamalat akan menerbitkan sejumlah saham baru yang akan dibeli oleh konsorsium itu.

Namun, aksi korporasi ini harus mendapat persetujuan dari pemegang saham. Rencananya hal ini akan dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada Kamis, 11 Oktober 2018 mendatang.

Menyelamatkan Muamalat

Dr Imron Mawardi, Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (10/10/18) menyatakan, istilah menyelamatkan kurang tepat karena Bank Muamalat tidak sedang dalam masalah yang akan menyebabkan kolaps.

Hal itu, ujar Imron, bisa dilihat dari capital adequacy ratio (CAR) yaitu kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian Bank Muamalat masih 13 persen, jauh di atas batas terendah 8 persen. Hanya saja Muamalat mengalami turun kelas karena memiliki modal inti sekitar 3.3 triliun.

Imron menyebut, berdasarkan modal inti yang dimiliki, bank dikelompokkan dalam empat kelompok usaha. Buku satu bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun. Buku dua bank dengan modal inti Rp 1 triliun sampai dengan kurang dari Rp 5 triliun. Buku tiga, bank dengan modal inti Rp 5 triliun sampai dengan kurang dari Rp 30 triliun dan buku empat, bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.

“Di Indonesia sendiri sebagian besar bank berada pada buku tiga, Muamalat awalnya merupakan satu di antara 13 bank umum syariah yang masuk buku tiga, modalnya di atas lima triliun, tetapi mepet. Sehingga modal itu tergerus dan pada akhirnya masuk pada buku dua,” jelas Imron.

Menurut Imron, sebetulnya permasalahan kelompok bank ini juga dialami Bank Jatim Syariah. Mengapa Bank Jatim belum merampungkan pemisahan unit usaha syariah Bank Jatim menjadi Bank Umum Syariah? Tanyanya.

“Itu dikarenakan maksimal modal yang bisa dikumpulkan baru sekitar 522 miliar, kalau dipaksanakan pemisahan, maka akan mengalami penurunan kelas,” ucapnya. Penurunan kelas ini salah satunya akan menyebabkan penurunan fitur-fitur layanan kepada nasabah. Resiko lainnya menyebabkan nasabah berpindah bank.

“Modal sangat penting bagi perbankan. Uang yang diputar uang nasabah, sebagai jaminan atas operasional bank harus memiliki capital adequacy ratio agar nasabah merasa aman saat menyimpan uang. Maka upaya saat ini yang dilakukan Muamalat menaikkan modal inti di atas lima triliun, jika right issue benar-benar bisa menghasilkan di atas itu, akan kembali naik ke buku tiga,” ungkapnya.

Urgensi Peningkatan Modal Bank Syariah

Dari sudut pandang bisnis, Dr Imron menjelaskan, industri perbankan di Indonesia paling menarik. Pasalnya beberapa investor asing membeli saham perbankan Indonesia karena dapat memberikan keuntungan yang sangat besar dengan rate interest income 5,9 persen.

“Jika investor memutar dana lima triliun, maka bisa menghasilkan 59 miliar. Berbeda di Malaysia hanya memberikan keuntungan sekitar 3,2 persen. Hanya mendapatkan 3,2 miliar dari satu triliun yang diputar, begitu juga Singapura lebih rendah sekitar 2,3 persen,” ujar Imron.

“Artinya sektor perbankan masih menarik bagi investor. Itu yang menyebabkan hampir semua bank di Indonesia kepemilikan sahamnya dimiliki asing, karena perbankan harus meningkatkan modal untuk mempertahankan bisnis yang begitu ketat,” tuturnya.

Persoalannya apakah peluang itu tidak menarik bagi investor Indonesia? Sebelum krisis terjadi pada 1998, pemerintah memberikan kemudahan bagi siapa pun untuk mendirikan bank meskipun dengan modal sangat minim. Hasilnya banyak bank menjamur saat itu. Namun pasca krisis terjadi, pengalaman itu menjadikan perbankan mempunyai aturan yang ketat.

“Menurut investor Indonesia, memiliki bank tidak otomatis mendukung bisnis mereka karena aturan yang rumit. Mungkin disinilah para investor Indonesia tidak banyak tertarik. Selain itu, tidak banyak investor fund management di Indonesia, karena sebagian perusahaan besar masih dikelola keluarga meskipun sudah go public,” pungkas Imron.

Kekuatan Ekonomi Umat Yang Terabaikan

Struktur perekonomian Indonesia sangat timpang meskipun umat muslim mencapai 80 persen dari mayoritas penduduk Indonesia. Saat ini bank-bank umum masuk dalam wilayah mikro atau pengusaha kecil yang semestinya menjadi pasar koperasi, Bank Perkreditan Rakyat, dan Lembaga Keuangan Mikro.

Hal itu disebabkan lembaga mikro belum mampu membiayai sektor mikro. Bahkan tiga baitul maal wa tamwil (BMT) terbesar di Indonesia jika menyatukan kepemilikan modal mereka, modal yang terkumpul hanya setara membuat bank yang masih sangat kecil.

“Itu sebabnya ada ketimpangan kepemilikan aset ekonomi berada pada titik tertentu, dalam beberapa rilis rekening perbankan, dari sekitar 14 persen rekening yang memiliki dana 80 persen dari total dana di perbankan, sebagian besar bukan dimiliki umat muslim,” tutur Imron.

Akan tetapi, jika masyarakat benar-benar menginginkan penerapan Islam yang kaffah maka bukan tidak mungkin modal-modal kecil yang dikumpulkan akan menjadi kekuatan ekonomi umat. Namun harus didukung oleh good political will dari pemerintah.

Imron menyebut, pemerintah bisa menjadikan ekonomi Islam sebagai arus baru ekonomi negara yang menyeluruh termasuk juga menguntungkan bagi non muslim.

“Islam menawarkan sistem yang baik, yaitu menghindarkan hal yang menjadi bubble seperti sistem keuangan konvensional; yang menyebabkan gelembung spekulatif yaitu perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya,” jelasnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment