Merasakan Tarawih 23 Rakaat Tapi Pelan-Pelan

Merasakan Tarawih 23 Rakaat Tapi Pelan-Pelan

Sensasi Tarawih 5 Juz Setiap Malamnya
Ilustrasi jemaah shalat. (Foto: Istimewa)

Suaramuslim.net – Dua minggu lebih menjalankan puasa Ramadhan. Saya masih rutin tarawih keliling dari satu masjid ke masjid lainnya di sekitar Malang. Hari selasa 14 Mei tarawih di masjid Miftahul Jannah. Masjid ini bersebelahan dengan SMK Telkom. Ada bedugnya, tempat wudhu yang unik dan interiornya banyak ukiran kayu jati dilengkapi khat arab. Di dinding masjid bagian luar ada lambang bumi dilengkapi sembilan buah bintang. Bisa disimpulkan masjid ini berafiliasi ke Jami’iyyah Nahdlatul Ulama.

Selama 20 tahun menetap di Perumnas Sawojajar, baru pertama kali tarawih di sini. Tarawih bersama istri. Sebelum tarawih ada tausyiah 10 menit. Sayangnya sang muballigh berbicara dalam bahasa jawa (kromo inggil). Saya tidak paham intisari tausyiah beliau. Salat tarawih dimulai pada pukul 19.18 WIB.

Yang menjadi imam tarawih di sini masih muda. Pakai jas dan berpeci putih berlogo NU. Di belakangnya ada makmum yang memantau bacaan sang imam. Makmum ini membuka mushaf Quran yang berukuran besar di dekat mimbar. Pada rakaat ke 4 imamnya ada kekeliruan bacaan ayat. Lalu dibenarkan oleh makmum tadi.

Seorang bapak di sebelah saya tidak pakai kopyah. Sepertinya sudah paruh baya. Saya lirik waktu tasyahud akhir, bapak ini mengeluarkan jari telunjuknya di awal, bukan saat bacaan tasyahud akhir mencapai kalimat syahadatain. Saya berasumsi bapak ini simpatisan Muhammadiyah atau organisasi sejenisnya. Ketika jeda, saya tanya bapak ini. “Pak.. disini berapa tarawihnya?“. Beliau jawab, “23 rakaat mas, tapi kalau sampai 8 rakaat saya pulang kok“.

Tak terasa tarawih pelan-pelan ini merampungkan rakaat ke 8. Jam dinding menunjukkan waktu pukul 19.40 wib. Bisa diketahui 8 rakaat butuh sekitar 22 menit. Jika konsisten, maka butuh lebih dari satu jam tarawih 23 rakaat ini baru selesai.

Kata istri saya saat mencapai 8 rakaat, banyak jamaah berdiri dan bergegas keluar masjid. Jamaah wanita banyak yang pulang juga sehingga yang di halaman masjid jadi sepi. Menyisakan tujuh jamaah wanita saja. Sementara jamaah pria tak sampai tiga shaf. Bapak sebelah kiri saya tadi juga keluar masjid. Harap dimaklumi, kebanyakan warga perumahan Sawojajar lebih suka yang ringkas dan tak berdurasi panjang.

Kemudian pada hari rabu 15 Mei, tarawih di Jalan Brigjen Slamet riyadi, kota Malang. Assholatu Imaduddin nama masjid ini. Tidak ada bedugnya, namun bentuk mimbar dan mihrabnya berarsitektur Jawa. Di mimbar terdapat tongkat. Tempat wudhu pria dan wanita ada kolam kecil untuk mencuci kaki.

Di masjid ini jumlah jemaah tak sampai lima shaf. Yang menjadi imam seorang habib. Pakai sorban dan sarung. Masih muda orangnya. Di masjid ini, sebelum tarawih ada tausyiah sebentar. Beliau berpesan kepada jamaah agar tidak banyak tidur. Tidur boleh asal memalingkan diri dari maksiat. Hanya saja kata beliau sebagian orang Indonesia kalau diminta pilih tidur dan ibadah, pilih tidur. Antara ibadah dan maksiat, pilih maksiat. Jadi di sana dilemanya.

Selesai memberi tausyiah, sang habib muda ini mengimami para jamaah. Tiap dua rakaat satu salam, durasinya 3-4 menit. Surah yang beliau baca mulai dari Al-Zalzalah, At-Takatsur, Al-Qadr, Al-Humazah hingga Al-Qariah. Untuk mencapai 8 rakaat, butuh sekitar 16 menitan. Bedanya masjid Assholatu Imaduddin dengan Miftahul jannah di Sawojajar, imam di Miftahul Jannah membaca surah maksimal 4 ayat. Sementara bacaan doa di antara dua sujud dan doa tasyahud akhirnya cukup lama. Kalau di masjid Assholatu Imaduddin, surahnya cukup panjang, namun bacaan sang imam ketika tasyahud akhir amat cepat.

Salat di masjid ini masih banyak jamaahnya, hanya beberapa jamaah saya lihat setelah mencapai rakaat ke 8 langsung bergegas pulang. Mengapa bisa begini? Karena jamaah masjid ini berasal dari kampung sekitar Kelurahan Oro-Oro Dowo. Akhirul kalam, tren tarawih pelan-pelan sebanyak 23 rakaat di warga Nahdliyin kota Malang mulai digalakkan tahun ini. Belum diketahui, apakah ada instruksi dari habib dan para kiai di PCNU NU tentang perlunya tarawih pelan-pelan alias tidak “express”. Wallahu a’lam.*

*Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment