Merawat Hati Mencerdaskan Akal Budi

Merawat Hati Mencerdaskan Akal Budi

Foto: www.google.com

Suaramuslim.net – Realitas kehidupan manusia tidak jarang ditentukan oleh sudut pandang yang dimiliki. Orang menilai seseorang seringkali ditentukan oleh bagaimana dia memposisikan seseorang dalam rasa yang dimiliki.

Pernahkah Anda merasakan bahwa terjadi suatu perasaan hati yang berbeda, ketika Anda berada dalam tempat yang berbeda untuk satu persolan yang sama. Misalnya kita akan sangat merasa sangat nasionalis ketika berada di sebuah kerumunan perhelatan yang membicarakan tentang nasionalisme. Namun perasaan itu masih tetap adakah ketika kita sedang bertemu kawan membicarakan tentang pekerjaan? Atau misalnya ketika Anda masih sama-sama berjuang untuk merintis sebuah pekerjaan, perasaan Anda tentu akan dibangun dengan semangat saling percaya dan memegang komitmen. Namun masihkah komitmen itu Anda jalankan ketika perasaan Anda telah diwarnai dengan ketidak percayaan?

Padahal ketidakpercayaan Anda bangun sendiri dan Anda kembangkan sendiri sesuai dengan kemauan Anda. Sementara orang yang Anda curigai tidak pernah melakukan apa-apa sebagaimana yang Anda pikirkan dan Anda rasakan.

Wajarkah perasaan seperti itu ada dalam diri kita sebagai manusia? Perubahan sikap dan rasa yang terjadi dalam diri manusia merupakan hal yang alami terjadi, karena suasana itu dipengaruhi oleh informasi yang masuk ke dalam akal dan diolah dalam hati yang kemudian melahirkan sikap berupa rasa.

Ada rasa suka dan ada rasa tidak suka yang kadang bahkan kalau dirawat secara masif akan merusak akal sehat dan perasaan kita.

Kita akan menjadi kehilangan kendali, tak mampu berpikir jernih, bahkan akan cenderung mengaburkan fakta yang pada akhirnya tak mampu membedakan antara benar dan salah. Sehingga hal yang tidak wajar dalam perubahan sikap itu ketika kita cenderung mempercayai informasi salah dan mengabaikan informasi yang benar.

Apalagi kalau hal tidak benar itu kita olah, kita sesuaikan pengalaman kita, sehingga kita akan semakin jauh dengan nilai nilai kebenaran yang sesungguhnya. Kalau sudah begini kita akan merusak harmonisasi yang sejak awal terbangun dengan baik, ibarat memintal benang setelah jadi kain, justru kemudian kita urai kembali, kita melakukan pekerjaan yang sia-sia.

Suatu saat Handzolah al-Usayyidi RA bercerita, suatu ketika ia ditanya oleh Abu Bakar as-Shiddiq RA tentang kabar dan keadaannya. Ia menjawab, “Keadaan Handzolah telah munafik.”

Abu Bakar RA berkata, “Maha Suci Allah, apa yang engkau katakan?” Handzolah pun menjelaskan, “Jika kami berada di sisi Rasulullah SAW, kami teringat akan neraka dan surga, sampai-sampai kami melihatnya seperti di hadapan kami. Namun, tatkala kami tidak lagi berada di sisi Rasulullah dan bergaul bersama istri-istri kami, anak-anak kami, dan sibuk dengan berbagai urusan (dunia), kami pun banyak lupa.”

Abu Bakar RA pun berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami juga merasakan hal yang serupa.”

Ketika Handzolah RA dan Abu Bakar RA menceritakan keadaan mereka ini kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah bersabda, “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya keadaan kalian sebagaimana keadaan kalian saat bersamaku dan kalian selalu mengingat itu, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat tidur kalian dan di jalanan. Namun, lakukanlah itu sesaat demi sesaat/terus menerus.” (HR Muslim).

Kisah di atas mengingatkan suatu realitas kehidupan yang kita jalani. Ada saatnya, kita merasa begitu dekat dengan Allah SWT, sehingga takut dengan neraka dan sangat berharap dengan surga-Nya. Namun, adakalanya pula saat kita disibukan dengan berbagai urusan dunia, kita pun lalai dengan semua itu. Bahkan, tanpa disadari, kita sering jauh dari Allah dengan melupakan akhirat seraya melakukan banyak maksiat.

Jika sahabat Rasulullah SAW saja yang kualitas diri, akidah, dan kuantitas amal mereka tak diragukan lagi, masih merasakan besarnya fitnah (keburukan) dunia, merasa diri mereka telah munafik, maka seharusnya kita yang banyak lalai dan melupakan Allah ini lebih pantas merasa munafik, mawas, dan introspeksi diri.

Satu hal yang patut dicermati, baik-buruknya keadaan (perilaku) manusia sangat berhubungan dengan hatinya. Apabila hati manusia telah rusak, tidak lagi mengenal kebaikan, maka rusaklah dirinya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah yang apabila baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, dia adalah hati.” (HR Bukhari).

Manusia penting merawat hati. Karena hati itu sifatnya berbolak-balik, alias mudah dimasuki oleh berbagai fitnah. Ada beberapa cara merawat hati agar ia tetap hidup, istiqamah di atas kebaikan agama, terhindar dari berbagai fitnah, dan selalu mendorong pemiliknya untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT.

Pertama, zikrullah. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, kebutuhan hati terhadap zikir bagaikan kebutuhan ikan terhadap air. Apabila ikan tidak mendapatkan air, maka ikan tersebut akan mati. Begitulah hati, ia akan hidup dengan zikir kepada Allah SWT dan dia akan mati tanpa berzikir kepada-Nya.

Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang yang berzikir kepada Rabb-Nya dengan orang yang tidak berzikir kepada Rabb-Nya, adalah seperti orang yang masih hidup dengan orang yang telah mati.” (HR Bukhari).

Kedua, bergaul dengan orang-orang baik. Hati akan terawat dengan baik, jika bergaul dengan orang-orang baik. Karena orang-orang baik akan mengajak kepada kebaikan, mengingatkan kepada kesalahan, dan merupakan cerminan kepribadian.

Allah SWT mengingatkan, “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berkumpullah bersama-sama orang yang benar.” (QS at-Taubah [9]: 119).

Ketiga, ilmu dan duduk di majelis-majelis ilmu. Imam Syafi’i berkata bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya (nur) tidak mungkin diberikan oleh Allah kepada seorang hamba yang bermaksiat kepada-Nya.

Dengan demikian, kebodohan adalah kegelapan bagi hati. Apabila hati telah gelap, jauh dari cahaya ilmu, penerang iman, maka manusia tidak akan dapat lagi membedakan mana yang benar dan salah. Sebab itu, tidak akan pernah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui (lihat QS az-Zumar [39]: 9).

Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk merawat hati. Namun, setiap usaha tidak akan pernah sempurna kecuali dengan bertawakal dan berdoa kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawab.

*Ditulis di Surabaya, 6 Oktober 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment