Suaramuslim.net – Ada kekaguman, sekaligus harapan dan pujian, saban orang membahas generasi milenial. Generasi yang bakal membawa negeri ini beberapa dekade ke depan. Setiap mengapresiasi aktivisme mereka, setiap itu pula kadang—bagi sebagian orang (dewasa)—pesimisme bahkan sebagian orang menjurus pada sinisme. Keakraban generasi milenial dengan gawai sering dicirikan sebagai identitas umum dan berlaku paten. Ditambah lagi analisis di media oleh para pakar yang mengulas keberadaan mereka tak ubah seperti rekan sebayanya di Eropa dan Amerika Serikat.
Generasi milenial akan lebih adil kalau dipandang sebagai aset dengan sekian diskusi yang mengarahkan mereka untuk tidak selalu berlekas menilai sesuatu. Kecepatan mengakses sebagai mode kesehariannya, memerlukan kontemplasi dan refleksi sebagai cara mendalami satu persoalan. Karena itu, pengagungan generasi milenial sedianya diposisikan wajar saja, tak jadi soal bila dilakukan sepenuh optimis. Asalkan saja jangan menjadikan pemitosan sebagaimana pernah dialami kelompok sosial yang disebut “kelas menengah”.
Kelas yang dicirikan progresif, kritis, dan peduli isu kebebasan beraspirasi, dikaitkan dengan kuatnya rezim politik masa Orde Baru. Di pundak kalangan yang disebut kelas menengah inilah asa perubahan dihadirkan. Akankah bahasan seputar generasi milenial itu ujungnya adalah pengharapan seperti diterima kalangan yang disebut kelas menengah? Memang, keduanya tidak sepadan; yang satu berbasis usia dan akses teknologi; satunya lagi lebih kepada kesadaran dan akses pada pengetahuan tanpa memandang usia.
Alih-alih pemitosan dan pengidaman elan vital para muda milenial, ada baiknya keberadaan mereka disiapkan ke visi yang tepat bagi negeri ini. Soal cara dan pengembangannya, mereka akan lebih paham dengan zamannya. Pelibatan yang diwarnai diskusi dua arah amat disukai mereka. Meski simbol dan identitas masih sering dihormati kalangan ini, perlu ada keberanian menempatkannya dalam konsepsi adab. Simbol dan identitas yang kosong dari adab akan lahirkan anarki, dalam wujud apa pun.
Keberadaan anak-anak muda di pentas politik seyogianya sebentuk pembelajaran buat mereka. Asalkan saja mereka tidak terjerembab dengan kebiasaan untuk selalu berpikir dan bertindak cepat. Tidak harus berada sebagai aktor utama bila hanya jadi pion orang lain yang mewakili identitas status quo. Atau hanya jadi pelengkap kekuasaan tiran tapi dibasa-basi dengan jargon penuh pikat bagi anak muda. Politik hakikatnya melekat dan dekat dengan manusia. Pun bagi muslim. Politik merupakan alat mewujudkan eksistensinya sebagai hamba Allah.
Saya teringat dengan Wawancara Rached Ghannouchi dengan The Financial Times. Ghannouchi merupakan sosok penting dalam kancah politik Tunisia. Ia, dengan partai yang dipimpinnya Ennahdha, berupaya merangkul banyak generasi muda. Tanpa basa-basi. Termasuk ketika menawarkan wajah muslim-demokrat yang lebih selaras dengan jiwa anak muda di negerinya. Betapa tidak, warga Tunisia dalam jarak tak terlampau jauh bisa memandang malam di Eropa dari negerinya. Ada interaksi dengan peradaban berbeda yang itu memerlukan respon bagi generasi baru. Di sinilah, Ghannouchi mencoba menawarkan sesuatu yang “baru” untuk menghadirkan Islam yang kompatibel dengan jiwa kaum muda.
“Tunisia, bagi saya, suatu kecenderungan fitrah. Semasa meninggalkan saudara-saudara saya di negeri ini, para anggota Nahdha telah diberitahukan tentang niat saya untuk kembali, dan persiapan telah dilakukan. Sungguh, pada hari mereka berkata ‘datanglah!’, saya bertekad pulang,” katanya.
Bagi seorang muslim, kebangsaan dalam arti kecintaan dan pembelaan pada negerinya, merupakan sesuatu yang fitrah dan halal. Di sinilah isu yang sering terpaut dengan eksistensi kaum muda milenial di sini juga.
“Umur saya tidak memungkinkan saya untuk menimbang cita-cita (politik) seperti itu. Saya berusia hampir 70 tahun dan ada generasi muda di Partai Ennahdha yang lebih mampu, lebih sesuai dengan aktivisme politik,” kata Ghannouchi. Inilah tentang kesadaran dari aktor lama. Bukan merendahkan diri pada kapasitasnya. Bukan. Ini tentang menghargai zaman dan potensi unik para pelanjut. Tentu tidak serta-merta bila tidak diimbangi dengan pengaderan utuh.
“Saya berniat untuk memusatkan kontribusi saya pada pengembangan pemikiran Islam dan keterlibatan saya dalam persoalan dunia Islam. Dan saya berharap, sisa hidup saya didedikasikan untuk tujuan-tujuan ini. Tunisia merupakan salah satu bagian dunia Islam, ini bakal menjadi salah satu kewajiban dan perhatian saya,” demikian Ghannouchi menempuh suatu upaya untuk membuat basis pengaderan. Kelak apa yang diikhtiarkan untuk negerinya bukan saja menyelamatkan Tunisia dari amuk pasca-Revolusi 2011 semasa Musim Semi Arab, tapi juga menghadirkan keteladanan kenegarawanan.
Dengan ijtihad politiknya, Ghannouchi bukan semata memberikan kekuasaan untuk memimpin negerinya kepada pihak seteru politik. Partainya memilih hanya sebagai penyeimbang, baik ketika di pemerintahan atau saat sebagai oposisi. Tapi, saat yang sama, Ghannouchi memerhatikan peran anak muda. Dan yang diperbuatnya, tidak sepi dari perhatian mereka. Perempuan belia semisal Sayida Ounissi_, pernah berkelakar punya ambisi untuk menjadi pemimpin partai Ennhadha. Dan ini bukan kelakar kosong, kelak Ounissi masuk di politik praktis dan menjadi anggota termuda di parlemen Tunisia.
Anak-anak muda yang hari ini memiliki banyak kiprah di pelbagai kancah, bisa memperbuat satu kontribusi yang lebih luas dengan berpolitik. Tentu saja, tidak berarti mereka otomatis sebagai aktivis partai. Menjadi juru bicara dan peneman dari kebijakan satu kekuasaan politik yang sejalan dengan aspirasi publik, juga bisa diperbuatnya. Karena itu, keberadaan anak-anak muda milenial dalam kontestasi politik tahun depan kiranya perlu diapresiasi, tentu dengan segala catatan kritis ada motivasi dan kesungguhan komitmennya. Jangan sampai mereka hanya jadi alat bagi kekuatan politik.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net