Suaramuslim.net – Sholat jama’ah dapat dikatakan sebagai suatu bentuk organisasi, sehingga sholat jama’ah dapat diinterpretasikan sebagai suatu sinyal dari ajaran Islam mengenai konsep-konsep berorganisasi (Sholat Jama’ah based Management/SJbM).
Dari aturan main (syariah) sholat jama’ah, dapat dimunculkan beberapa konsep mengenai niat kepemimpinan (leadership), pengikut (followership), komunikasi, proses suksesi, peran wanita, termasuk cara mengingatkan pemimpin, hingga salam.
Implikasi Praktis
Para pemimpin muslim, baik organisasi profit maupun nonprofit, dapat mencoba menggunakan konsep manajemen berdasarkan sholat jama’ah baik untuk organisasi formal maupun informal. Namun lebih lanjut konteks sholat jama’ah sekali lagi adalah untuk organisasi semiformal dan rutin, sehingga aplikasinya perlu didiskusikan lagi untuk organisasi yang formal dan nonformal.
Implikasi Riset ke Depan
Untuk riset ke depan, artikel ini dapat ditindaklanjuti dengan melakukan riset dengan metode Delphi kepada beberapa pakar fiqh dan ilmu manajemen untuk mencari wawasan/insight lebih lengkap mengenai berbagai aspek dari sholat jama’ah yang dapat menjadi salah satu pedoman dalam berorganisasi.
Riset ke depan juga dapat mengamati dampak aplikasi berbagai model aplikasi terhadap kinerja organisasi. Namun untuk itu, kesulitan yang terjadi adalah mencari organisasi yang telah mengaplikasikan sholat jama’ah dalam praktik manajemen organisasi.
Sebagai penutup, kisah menarik dari Bilal bin Rabah ra sebagai salah satu sahabat yang dikasihi oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw. dapat dijadikan petunjuk efek dari aplikasi SJbM. Kisah tersebut menunjukkan loyalitas sangat tinggi kepada seorang pemimpin, yang akan sulit dicarikan cerita tandingnya.
Ketika kanjeng Nabi Muhammad saw wafat, maka Bilal bin Rabah ra. memutuskan untuk tidak lagi menjadi muadzin. Beliau hanya bersedia menjadi muadzin untuk Kanjeng Nabi saw. Hal ini mengingat kecintaan Bilal ra. kepada Nabi saw. Yang menjadikannya tidak mampu mengucapkan nama beliau saat adzan.
Setiap kali sampai pada bagian “Asyhadu anna Muhammadarrosulullah,” Seketika itu Bilal ra. tercekat dan menangis. Sehingga beliau ra. pun meminta izin khalifah pertama, Sayyidina Abu Bakar ra. untuk tidak menjadi muadzin, bahkan izin hijrah ke kota lain.
“Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
Mendengar permintaan tersebut, Abu Bakar ra. Tidak dapat mendesaknya lagi untuk mengumandangkan adzan. Bilal ra., akhirnya meninggalkan Madinah dan ikut pasukan Fath Islamy ke Syam, kemudian tinggal di Homs, Syria. Sebuah kesetiaan tiada tara dari seorang pengikut.
Bertahun-tahun lamanya berlalu, Bilal ra. tidak menjenguk kota Madinah, bahkan hingga berganti kepemimpinan dari Abu Bakar ra. beralih kepada Umar ra.. Hingga suatu ketika, dikisahkan Nabi Muhammad saw., hadir dalam mimpi Bilal ra..
“Ya Bilal, Waa maa Hadzal jafa?” (yang artinya, “Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”)
Mimpi tersebut membangunkan Bilal seketika dari tidurnya dan membuat Bilal segera bergegas berkemas untuk mengunjungi makam Rasulullah di Madinah.
Sesampainya di makam Rasulullah saw., Bilal menangis melepaskan kerinduannya pada Rasulullah saw. Saat itu muncul dua pemuda yang merupakan cucu Rasulullah, Hasan dan Husein. Keduanya mendekati Bilal dan memohon kepadanya untuk mengumandangkan adzan kembali di Madinah, karena kerinduan mereka akan kakek mereka.
Bilal kemudian memeluk kedua cucu Rasulullah yang amat disayanginya itu dan memenuhi permintaan keduanya. Saat waktu sholat tiba, Bilal naik ke tempat dia dahulu biasa mengumandangkan adzan dan mengumandangkan adzannya dengan suara merdunya.
Saat lafadz “Allahu Akbar” dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktivitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok yang dicintai, suara yang begitu dirindukan itu telah kembali.
Semua hati tercekat, semua mata berbinar dengan suara adzan Bilal ra. Ketika Bilal meneriakkan kalimat “Asyhadu an laa ilaha illallah”, seluruh isi kota Madinah berlarian ke arah suara itu sambil berteriak, bahkan para gadis dalam pingitan pun keluar. Dan saat Bilal mulai mengumandangkan kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Madinah pecah oleh tangisan haru dan kerinduan mendalam.
Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah saw., Umar bin Khattab ra. yang paling keras tangisnya. Bahkan Bilal ra. sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu Madinah mengenang masa saat masih ada Rasulullah saw. di antara mereka. Hari itu adalah adzan terakhir bagi Bilal ra. Dan menjadi kisah adzan yang tak terselesaikan hingga kini.
Sebuah loyalitas yang mungkin saat ini dapat dijadikan tolok ukur kesuksesan seorang pimpinan. Apakah di akhir masa kepemimpinan kita, banyak orang yang bersyukur ataukah bersedih? Apakah bawahan kita yang baik merasa bersedih hati dengan selesainya masa jabatan kita ataukah ia bersorak-sorak?
Wallaahu a’lam bisshowaab… Baarokallah
Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*
*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya