Motif Berislam; Antara Nasib Personal Dunia-Akhirat vs Kondisi Duniawi Masyarakat Plural

Motif Berislam; Antara Nasib Personal Dunia-Akhirat vs Kondisi Duniawi Masyarakat Plural

Antara Nasib Personal Dunia-Akhirat vs Kondisi Duniawi Masyarakat Plural

Penulis: Fuad Amsyari, Ph.D*

Suaramuslim.net – Seorang guru besar Unair senior pernah mengingatkan betapa lamanya manusia yang meninggal di awal tahun Masehi maupun Hijriah sudah menghuni alam kubur, ribuan tahun. Saya tambahkan bagaimana dengan Nabi Adam dengan generasi awalnya, tentu sudah jutaan tahun di alam kubur.

Dalam Islam dijelaskan, sesudah mengalami alam kubur yang gaib (tidak terjangkau saintek, hanya diketahui dari informasi wahyu terkait keyakinan agama) lalu ada kiamat kubra (entah kapan terjadi). Semua manusia kemudian ditimbang amal perbuatannya. Jika jelek timbangannya akan masuk neraka (secara personal per orang) dan jika baik timbangannya akan mendapat surga yang tidak terhingga lamanya.

Di alam kubur juga sudah ada evaluasi (beda kategorinya) dengan implikasi bisa mendapat siksa kubur seperti mimpi-mimpi mengerikan berkepanjangan selama di sana atau nikmat kubur berupa nyenyak tidur nyaman sampai datangnya kiamat. Semua itu terkait nasib personal/individu manusia per orang.

Dari uraian di atas lalu muncul pertanyaan apa beragama itu (termasuk berislamnya seseorang) hanya terkait individu manusia, tidak ada hubungannya dengan kondisi kelompok atau tatanan sosial kemasyarakatan manusia saat berada di dunia fana ini?

Kesalahan manusia dalam beragama termasuk oleh umat Islam pada umumnya adalah lupa bahwa dalam proses kehidupan di dunia fana itu ada peran dan tanggung jawab individu kepada kualitas masyarakat yang dia menjadi anggota tatanan sosial tersebut. Maka, prestasi individual atas kondisi tatanan sosialnya juga masuk pada prestasi individu yang harus dipertanggungjawabkan sesudah matinya kelak. Di sinilah letak pentingnya tanggung jawab individu manusia sebagai makhluk sosial, termasuk siapa yang dipilihnya menjadi pemimpin formal di tatanan sosial yang plural. Hal ini karena pemimpin formal yang dipilihnya itu akan menentukan kualitas kehidupan banyak orang dalam tatanan tersebut.

Dengan pemahaman beragama utuh seperti itu, kini mari dicermati bagaimana motif berislam yang benar dari awal kondisi manusia di Makkah menjelang turunnya wahyu pertama, proses perjalanan perjuangan misi Islam Nabi, sampai ujung di saat wafatnya.

1. Merunut situasi menjelang turunnya agama Islam (wahyu pertama: QS Al ‘Alaq 1-5), gambaran kondisi Makkah sebagai berikut:

A. Mayoritas masyarakat Makkah adalah penyembah berhala yang dinamai macam-macam seperti Lata-Uzza-Hubal-Manat dan lain lain.
B. Mereka ternyata buta/tidak tahu/tidak mengerti tentang adanya kehidupan sesudah mati. Mereka hidup dengan tujuan skala duniawi saja (berarti mirip seperti pola kehidupan binatang, menjalani hidup lalu mati, dan selesai semuanya. Perbedaannya hanya pada gradasi aktivitas duniawi yang karena kecerdasan manusia yang relatif tinggi lalu punya keinginan menimbun kekayaan berjibun, berorganisasi canggih, punya tatanan pertemanan yang kompleks, dan lainnya).
C. Berhalanya kaum musyrikin Makkah ternyata tidak memberi petunjuk cara hidup teknis apa pun. Maka cara hidup masyarakat di Makkah saat itu hanya berpegang pada tradisi nenek moyang, seperti: menjaga status keturunan/kebangsawanan, menjaga martabat kesukuan, menilai manusia dari kekayaan, atau berperilaku semaunya. Masyarakat itu membangun elite untuk mengendalikan pola tata kelola masyarakatnya. Rusaknya akhlak masyarakat jangan ditanya: brutalitas-kekejaman oleh si pemegang status tinggi, kesenjangan ekonomi luar biasa, perlakuan pada perempuan yang dinilai sekadar pemuas nafsu, dan lain lain.

2. Di tengah masyarakat seperti yang dijelaskan di atas, hadirlah seorang pemuda bernama Muhammad bin Abdullah. Yang secara personal bukan tergolong orang miskin, lemah, dan sakit. Beliau di usia menjelang 40 tahun sangat sehat, gagah, ganteng, kaya raya, keluarganya harmonis-bahagia, populer, darah bangsawan pula. Dengan status personal yang hebat/tinggi seperti itu bukannya beliau lalu berfoya berglamor ria, malah beliau lalu sering menyendiri kontemplasi ke tempat sunyi. Mengapa? Karena beliau tidak tahu bagaimana bisa mengatasi masyarakatnya yang rusak itu.

Nah, dalam suasana dan motif batin seperti itulah turun wahyu dari Sang Maha Pencipta alam semesta, Allah subhanahu wa ta’ala. Wahyu pertama dimulai dengan ajaran tauhid bahwa dunia termasuk manusia itu ada penciptanya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, bukan Latta-Uzza dan lainnya yang selama itu menjadi sembahan orang musyrik di sana.

Wahyu berikutnya yang turun tidak lama kemudian bahkan sudah menyentuh pemberian petunjuk cara hidup yang jelas. Apa yang harus dikerjakan manusia sesudah bertauhid, yaitu perintah agar menyebarkan tauhid. Juga perintah eksplisit lainnya, yaitu: membersihkan diri, menjauhi kesesatan dan kejahatan, beramal kebaikan dengan ikhlas tanpa berharap dapat keuntungan berlipat, dan harus sabar dalam mengajak manusia ke jalan Allah  subhanahu wa ta’ala (QS Al Mudatsir ayat 1-7). Setelah itu, turun wahyu-wahyu lain berurutan sampai menjelang wafat beliau, yang keseluruhan wahyu tersebut didokumentasikan menjadi Al Quran.

3. Ujung dari proses pelaksanaan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala secara bertahap itu oleh Nabi dan para sahabat beliau yang taat intens mengikuti perintah wahyu secara konsisten dan utuh, maka lahirlah tatanan masyarakat baru (plural penduduknya). Yang penuh keharmonisan, kemuliaan akhlak/budi, berkesejahteraan, berkemakmuran merata tanpa kesenjangan yang ekstrem, hidup dengan kesederhanaan tanpa foya-foya glamoritas, berkeadilan, kedamaian tanpa ancam mengancam -intimidasi-eksploitasi, yang terjadi bukan hanya di tatanan sosial Makkah tapi menjalar ke seantero dunia.

4. Kesimpulan ringkasnya: bahwa Islam itu diturunkan Sang Maha Pencipta bukan sekadar agar manusia secara personal hidupnya di dunia menjadi manusia baik dan matinya masuk surga. Namun yang jauh lebih utama adalah bahwa Islam itu jika tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala diterapkan secara utuh dalam tatanan sosial yang plural, akan menyelamatkan manusia sebagai makhluk sosial, mewujudkan tatanan sosial yang plural termuliakan, tersejahterakan, berkeadilan penuh kedamaian, yang akan sangat berbeda dengan tatanan sosial di dunia fana saat ini.

Mari berislam dengan benar, tidak sekadar personal-ritual-amal sosial, namun juga berkomitmen menyelamatkan umat manusia dari kesesatan dan keterpurukan sosialnya melalui berislam politik sesuai percontohan nabi. Beliau dengan Islam politik berhasil menjadi pemimpin formal negeri yang berpenduduk plural. Sukses mewujudkan tatanan sosial yang berkeadilan penuh kesehteraan karena menerapkan tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala terkait kenegaraan dalam kebijakan-kebijakan nasionalnya.**

*Ketua Umum Syarikat Islam Politik dan Dewan Pakar ICMI

**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment