MUI: Kewenangan Fatwa Halal oleh Banyak Lembaga Akan Membuat Rancu

MUI: Kewenangan Fatwa Halal oleh Banyak Lembaga Akan Membuat Rancu

MUI Kewenangan Fatwa Halal oleh Banyak Lembaga Akan Membuat Rancu

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Polemik konsep perundang-undangan ala Presiden Joko Widodo yang kita kenal dengan istilah Omnibus Law belum usai sejak awal Presiden menginginkan agar segera disahkan. Belakangan gelombang penolakan justru datang dari buruh dan sejumlah elemen masyarakat karena ada sejumlah pasal yang dianggap kontroversial.

RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga menimbulkan komentar publik di masalah kewenangan sertifikasi halal. Menteri Agama menyebut bahwa dalam RUU Omnibus Law itu, wewenang memberikan sertifikasi halal selain kepada MUI, juga akan diberikan kepada ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia.

Wakil Sekjen MUI Bidang Fatwa, KH. Sholahuddin Al-Aiyub menyampaikan, pemberian wewenang fatwa halal kepada semua ormas akan membuat standar halal di Indonesia menjadi rancu. Berbeda dengan bidang lain atau fatwa biasa, ujarnya, fatwa halal termasuk dalam fikih qath’i. Artinya, fatwa halal ini sifatnya final dan mengikat karena sesuai dengan ketetapan negara yang berlaku.

“Sifat fikih terbagi menjadi dua, yakni fikih biasa dan fikih qath’i, untuk opini fikih atau fatwa biasa, setiap ormas memiliki kewenangan yang sama untuk menetapkan hukumnya, hal ini memungkinkan adanya perbedaan putusan dalam satu varian,” katanya, Jumat (21/2) melalui keterangan tertulis yang diterima Suaramuslim.net.

Kiai Aiyub melanjutkan, kasus sertifikasi halal ini berbeda dengan fatwa-fatwa umum yang dikeluarkan oleh ormas Islam yang disesuaikan dengan jam’iyat ormas. Hal demikian dalam ilmu fikih disebut fikih biasa. Di dalamnya, setiap ormas memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa hukum dan fatwa tersebut sifatnya tidak mengikat.

Berbeda dengan fikih qath’i, lanjutnya, di dalamnya tidak diperbolehkan ada perbedaan pendapat atau dalam kata lain wewenang fatwa tersebut tidak bisa dijalankan oleh beberapa atau banyak pihak. Sekalipun acuan penetapan fatwanya sama, namun penetapan fatwa antar satu ormas dengan ormas besar kemungkinannya berbeda.

“Misalnya, ada sepuluh pendapat, ketika negara atau yang ditunjuk oleh negara mengambil pendapat A, maka yang berlaku adalah pendapat tersebut. Itulah fikih qath’i. Jadi tidak dibuka peluang pendapat setelah itu. Jika dibuka, maka akan terjadi kekacauan keputusan fatwa,” jelasnya.

MUI, menurut dia, adalah wadah yang paling ideal melaksanakan sertifikasi halal. Di dalam MUI, khususnya komisi fatwa, terdiri dari ulama dari berbagai latar belakang ormas Islam. MUI menjadi rumah bersama ormas Islam karena setiap ormas Islam memiliki perwakilan di MUI.

Di MUI, terhimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim mulai dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Mathlaul Anwar, Al Ittihadiyah, PERSIS, Al Washliyah, PUI, dan puluhan ormas Islam lain yang bila ditotal mencapai sekitar tujuh puluh ormas.

Karena itu, fatwa yang ditetapkan di MUI juga menjadi cerminan dari fatwa yang sudah dibahas oleh ulama dari berbagai latar belakang ormas. Hal ini tentu saja berbeda jika fatwa diberikan kepada semua ormas. Yang nanti terjadi adalah setiap ormas, meskipun memiliki acuan yang seragam, namun hasil fatwanya nanti berpotensi berbeda-beda, khususnya pada produk-produk yang masih abu-abu kehalalannya.

Menurut Kiai Aiyub sekalipun pemerintah ingin menciptakan kondisi investasi yang ideal, namun tidak perlu sampai menihilkan prinsip-prinsip sertifikasi halal.

“Memudahkan investasi boleh saja, tapi jangan sampai menghilangkan prinsip-prinsip sertifikasi halal yakni jaminan keyakinan dari prinsip keagamaan, sayangnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja justru mencederai prinsip itu,” tegasnya.

Sumber: MUI Pusat
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment