Murah Hati Tak Mesti Menunggu Kaya Materi

Murah Hati Tak Mesti Menunggu Kaya Materi

Murah Hati Tak mesti Menunggu Kaya Materi

Suaramuslim.net – Saat terjadi perang Tabuk (9 H), Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memotivasi sahabat-sahabatnya untuk mendermakan hartanya untuk perjuangan di jalan Allah. Di antara mereka ada yang mendermakan semua hartanya; ada yang mendermakan separuh hartanya dan ada pula yang mendermakan harta sesuai dengan kadar harta yang dimiliki.

Di sisi lain ada beberapa sahabat yang tergolong fakir dan miskin. Mereka sama sekali tidak mempunyai harta untuk didermakan bahkan untuk turut serta jihad saja tidak mempunyai kendaraan, tapi sebenarnya mereka juga ingin menjadi orang yang murah hati.

Para sahabat itu, dalam lembaran sejarah dikenal dengan istilah, ‘al-Bukkā`ūn (yang banyak menangis). Sebagaimana yang tertulis dalam Al Quran, artinya demikian: “Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS At-Taubah [9]: 92).

Mereka ada tujuh orang. Di antara mereka ada yang bernama `Ulbah bin Zaid. Ketika ia ditolak ikut serta jihad karena tidak mempunyai apa-apa, akhirnya sewaktu malam ia shalat tahajjud kemudian berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau memerintah jihad dan mendorong hamba melakukannya, sedangkan Engkau tidak menjadikan untukku sesuatu yang bisa membuatku kuat, serta Kau tidak memberi pada Rasul sesuatu yang dapat membawaku (turut serta berjihad) dan sungguh aku berderma (bersedekah) pada setiap muslim dengan segenap kedzaliman yang menimpaku baik berupa harta, jasad maupun harga diri.”

Hampir-hampir `Ulbah bin Zaid putus asa karena sama sekali tak punya harta untuk didermakan di jalan Allah. Namun di keheningan malam yang sunyi, ia bermunajat pada Tuhan seraya mendermakan sesuatu yang sama sekali tak berkaitan dengan harta benda. Ia berderma dan bersedakah dengan keikhlasan terhadap kezaliman yang telah dilakukan oleh teman-teman muslimya kepada dirinya baik berupa harta, jasad, maupun harga diri. Ia mengikhlaskan semua itu sebagai sedekah untuk berkontribusi berjihad di jalan Allah.

Tanpa dinyana, ternyata setelah shalat Subuh, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengumumkan bahwa sedekah `Ulbah bin Zaid diterima dan dicatat sebagai seorang penderma tulus dan jujur sebagaimana penderma lain di kalangan sahabat yang telah mendermakan harta. `Ulbah tak mau putus asa. Ia berusaha sedemikian rupa untuk tetap menjadi murah hati meski ia tak memiliki kekayaan materi. Ia mendermakan sesuatu yang sama sekali mungkin belum terlintas dibenak kita. Bahwa memaafkan kesalahan, kezaliman orang lain ternyata dicatat sebagai sedekah.

Ia lulus menjadi dermawan meski tak hartawan. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa menjadi murah hati tak harus menunggu mempunyai sesuatu. Apa saja yang intinya bernilai manfaat baik itu, harta, tenaga, waktu dan lain sebagainya selama bermanfaat maka itu bisa diberikan pada orang lain. Sehingga tak ada lagi alasan bersedekah, berderma menunggu punya harta; tidak ada alasan lagi berderma menunggu sampai punya.

Apa saja yang bisa diberikan berupa manfaat, di situ terbuka lebar untuk menjadikan kita dermawan. Bukankah Nabi pernah bersabda, “Seluruh perbuatan baik merupakan sedekah.” (HR. Bukhari)? Dan itu semua sudah dibuktikan oleh ‘Ulbah bin Zaid. Kondisinya yang kekurangan materi tak membuatnya berpangku tangan untuk menjadi orang yang murah hati.

Kontributor: Mahmud budi Setiawan
Editor: Oki Aryono

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment