Musa dalam Asuhan Fir’aun Menjadi Mulia, As Samiri dalam Asuhan Jibril Menjadi Durjana

Musa dalam Asuhan Fir’aun Menjadi Mulia, As Samiri dalam Asuhan Jibril Menjadi Durjana

Nabi Musa, Fitnah, dan Kesempurnaan Fisiknya

Suaramuslim.net – Ketika kita membaca ayat Al Quran Surat Al A’raf 148;

وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلا جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لَا يُكَلِّمُهُمْ وَلا يَهْدِيهِمْ سَبِيلا اتَّخَذُوهُ وَكَانُوا ظَالِمِينَ

“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke Gunung Tur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”

Lembu yang bersuara tesebut yang dibuat oleh Samiri dari perhiasan bangsa Qibti. Perhiasan emas itu asal mulanya mereka pinjam dari orang-orang Qibti di negeri Mesir, kemudian Samiri meleburnya dan menjadikannya patung anak lembu.

Kemudian Samiri memasukkan debu dari bekas teracak kuda Malaikat Jibril a.s. ke dalam leburan emas itu sehingga jadilah sebuah patung yang berbentuk dan bersuara. Al-khuwar ialah suara lembu.

Tentang Samiri yang biasa dikenal dengan Samiri bin Dhofar atau Musa Samiri, bisa mengenali Jibril sedangkan yang lain tidak mengetahuinya itu diabadikan di ayat Allah surat Thaha 95-98;

قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ (95) قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي (96) قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ وَانْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا (97) إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا (98)

“Berkata Musa, “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?” Samiri menjawab, ‘Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya dan demikianlah nafsuku membujukku.”

Berkata Musa, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan dunia ini (hanya dapat) mengatakan, “Janganlah menyentuh (aku).’ Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan).

Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah), selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.”

So, yang menjadi pertanyaan dari ayat di atas, dari mana Samiri bisa mengenal Jibril?

Konon ketika rezim Firaun memutuskan untuk membunuh anak laki di negerinya, maka ada dua orang ibu yang berusaha menyelamatkan anak lakinya.

1. Ibu Nabi Musa, yang diabadikan dalam Firman-Nya QS Al Qashas 7;

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلا تَخَافِي وَلا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke Sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.”

2. Ibu Musa As Samiri. Yaitu ibu yang memang hidup di agama Pagan, suka menyembah berhala. Dia juga ingin menyelamatkan anaknya, yang kemudian diletakkan di Gua. Atas seizin Allah, Jibril mengasuhnya.

Kisah ini begitu populer di kitab tafsir, di antaranya Tafsir Al Munir karya Dr. Wahbah Az Zuhaily ketika menafsirkan Al A’raf 148.

Diabadikan dalam sebuah syair;

اذا المرء لم يخلق سعيدا من الازل# فقد خاب من ربي و خاب المومل

فموسى الذي رباه جبريل كافر … وموسى الذي رباه فرعون مرسل

“Jika seseorang tidak ditakdir berbahagia dalam hidupnya, maka gagal lah sesiapa yang terdidik dan memiliki cita-cita.”

“Musa (Assamiri) yang konon
dipelihara Jibril menjadi orang kafir, sedangkan Musa yang dipelihara Firaun justru diangkat jadi rasul.”

Maka spirit yang indah bisa diambil dari catatan kisah di atas itu adalah bahwa pendidikan karakter anak-anak kita harus memenuhi tiga unsur ini;

1. Kasih sayang ibu/orang tua, dan doa mereka adalah penentu dari kesuksesan anak.

Lihatlah bagaimana ibunda Nabi Musa yang berharap anaknya kembali dan disusuinya, meski diasuh di lingkungan istana Firaun.

Bandingkan dengan ibu Musa Samiri yang membiarkan begitu saja anaknya di gua tanpa kembali lagi.

2. Kesalehan ibu atau orang tua adalah media pembentuk karakter anak saleh.

Kesalehan ibunda Nabi Musa turut membentuk karakter anaknya. Berbeda dengan ibu Musa As Samiri yang musyrik suka menyembah berhala (patung sapi).

3. Lingkungan pendidikan juga ikut berperan dalam pembentukan karakter anak saleh.

Lingkungan yang terus menempel pada pribadi anak turut serta membentuk pribadinya. Seperti yang diungkap hadis di bawah ini, lingkungan terdekatnya yaitu orang tuanya turut membentuk pribadinya.

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? (Anaknya lahir dalam keadaan telinganya tidak cacat, namun pemiliknya lah yang kemudian memotong telinganya).” HR Al Bukhari.

Wallahu A’lam.*

*Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment