Suaramuslim.net – Ia keturunan bangsawan Gotik Barat yang memilih Islam sebagai keyakinan. Ia memiliki kemampuan mengorganisasi manusia meski berupa gerombolan perampok yang bermarkas di istana kuno di Gunung Bobastro. Tahun 880 masehi ia awali karier sebagai pemimpin gerombolan ini sebelum akhirnya menjadi tentara kerajaan yang memberontak pada keamiran Umayyah di Cordova.
Umar ibn Hafsyun, sang empu nama, tulis Phillip K. Hitti saat mengulas bab Umayyah di Spanyol dalam History of the Arabs (1937), merupakan pemberontak yang paling keras dan berbahaya. Dan perkataan Hitti ini memang tidak keliru. Meski resminya Muslim, Ibn Hafsyun bersekutu dengan para oposan amir Umayyah dan kaum Kristen. Umar bagi mereka ini, kata Hitti, “pahlawan dari bangsa yang telah sekian lama tertindas.” Sebaliknya, para penguasa Muslim, Umar adalah “sang terkutuk” dan “sang bajingan”.
Betapa tidak mencemaskan, pemberontakan Umat ibn Hafsyun tercatat berlangsung lama. Ia mampu melangsungkan pertempuran di tiga masa keamiran, yakni Muhammad, al-Mundzir, dan Abdullah. Tercatat ia berhasil mengisolasi Cordova, meski tak sampai menguasai ibu kota elok ini. Sang pemberontak juga lihai menjalin aliansi dengan lawan-lawan amir Umayyah.
Tak peduli menyeberangi perairan. Maka, ia menggalang kekuatan dengan penguasa Abbasiyah di Baghdad (kala itu di bawah al-Mu’tamid) dan Aghlabiyah di jazirah Afrika. Kedua kekuatan ini memang tidak sehaluan dengan Umayyah Cordova.
Umar yang ambisius ini tengah kuat berikhtiar. Garis tekadnya bulat: menjadi gubernur Muslim Spanyol. Sayang, tak jua tergapai. Dukungan dari pelbagai pihak dengan latar keimanan berbeda, tak kunjung hadirkan hasil sesuai asa. Terlepas dari soal hasil, adanya dukungan dari Khalifah Abbasiyah beserta gubernurnya di Afrika, nyatanya tak surutkan kemasygulan Umar ibn Hafsyun. Pada 899 kecewanya bersangat mengejutkan kawan seiman. Ia murtad dari Islam! Dan kini memilih nama baptis: Samuel.
Mengutip Ibn Idzari, Hitti menyebutkan bahwa Samuel alias Ibn Hafsyun sejatinya hanya formalitas belaka memeluk Islam. Keyakinan Kristennya belum luntur, hanya ia lama sembunyikan dalam hati. Jelas sudah, kebencian dan ambisi menjadi penguasa Spanyol bukan atas dasar cinta Ilahi berasaskan tauhid. Tak penting dengan siapa bersekutu asalkan bisa berkuasa; apatah lagi dengan kawan seiman lamanya sesama kristiani.
Demikianlah gigihnya Samuel menggoyang kekuasaan para amir di Cordova. Amunisi baru hadir ketika datang bantuan dari Ubaydullah al-Mahdi dari Tunisia, seorang Syiah, yang mengonsolidasi daulah anyar yang nantinya mencatatkan diri dalam sejarah saat berpusat di Mesir (pendukungnya lebih suka menyebutnya daulah Fathimiyah, demi menjaga klaim ketersambungan nasab dengan Rasulullah). Sosok ambisius Samuel menjadi ancaman berat di tengah dinamika kekuasaan di tangan Muslimin. Ia siap mencerabut sampai ke akar-akarnya kekuasaan keamiran, kata Hitti.
Atas izin Allah, ambisi lelaki murtad itu bersua dengan ambisi dari pihak yang ditentangnya, yang kala itu memunculkan sosok muda: Abdur-Rahman III. Inilah sosok yang mengubah keamiran menjadi kekhilafahan Umayyah di semenanjung Iberia. Yang merebut kembali bekas wilayah leluhurnya akibat percekcokan internal dan serbuan kalangan kafir.
Ia yang meluaskan wilayah dengan menghasilkan banyak kemajuan lagi kemakmuran. Capaian yang sepadan dengan nama gelarnya, al-Khalifah an-Nashir li Dinullah, khalifah yang menolong agama Allah. Di tangan Abdur-Rahman ini kehormatan Muslimin dari klan Umayyah dan pendukungnya melambung. Hingga reputasinya menyeberangi lautan dan mengundang iri sekaligus kagum para pesaingnya di Baghdad dan Kairo.
Bagaimana akhir Samuel?
Ia porak-poranda bersama ambisinya yang gagal kembali. Namanya terpuruk di tengah matahari baru hadirnya khalifah baru di dunia Islam; khalifah yang membayangi Abbasiyah dan ‘Ubaidiyah di timur. Namun, polah Samuel sejatinya berikan satu peringatan bagi zaman yang masih bergulir.
Ada pelajaran tentang ambisi yang kadang menyimpan lipatan hasrat menghalalkan segala cara. Ada keyakinan yang disembunyikan dus jadi modal untuk melangsungkan rongrongan dalam indahnya keimanan dan ukhuwah. Mungkin tak selalu memurtadkan diri tapi cerita pengkhianatan pada laju dakwah dan politik Muslim selalu tak absen dari soal ini.
Ambisi pribadi yang menenggelamkan keimanan hingga sebatas soal materi dunia belaka. Di pusara zaman kita inilah waspada untuk mencegah hadirnya penelikung seperti Ibn Hafsyun harus senantiasa ada. Apatah lagi ketika kekuasaan itu bersempit ranah menjadi kontestasi politik lima tahunan; masa ketika berubah-ubah simbol keimanan seakan hal lumrah.