Suaramuslim.net – Islam telah nyata memberikan tawaran solusi atas berbagai persoalan kehidupan. Tidak ada satupun persoalan hidup yang terlewatkan dari solusi Islam. Di saat Allah telah menegaskan bahwa “pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu” (Al Maidah: 3), maka berarti semua urusan manusia dan segala permasalahannya telah diberikan solusinya dalam Islam, apapun realitas yang dihadapinya.
Persoalannya sekarang, apakah kita bersedia dengan segala penerimaan penuh loyalitas atau menolak dengan penuh keraguan atas berbagai solusi yang bersumber dari sumber wahyu itu? Atau masih ingin mencari solusi lain yang sesuai dengan akal rasionalitasnya semata?
Apabila kita telusuri sejarah, apa alasan orang-orang kafir musyrikin pada masa Rasulullah melalukan penolakan atas ajaran Nabi. Apakah memang ajaran Nabi tidak rasional menurut mereka atau karena alasan lainnya?
Patutlah diketahui bahwa orang-orang musyrik menolak ajaran Nabi Muhammad pada saat itu bukan karena ajaran Nabi tidak rasional melainkan dalam diri mereka ada penyakit hati yaitu salah satunya mereka menyatakan mengapa Nabi yang diutus Allah bukan dari kalangan terhormat di antara mereka.
Menurutnya, yang pantas dan berhak menerima risalah kenabian adalah dirinya, bukan Muhammad karena merasa lebih senior. Cara berpikir ini diwakili oleh Al-Walid bin Al-Mughirah, Musailamah Al-Kadzdzab, Amr bin Abd Wudd (mantan seorang ksatria pada jaman jahiliyah), mereka merasa lebih tua usianya dari Nabi muhammad.
Pada saat Muhammad diangkat menjadi nabi, Amr bin Abd Wudd berumur sekitar 100 tahun. Sementara, Salam bin Misykam, Ka’ab bin Asad, Huyay bin Akhthab, dan Ka’ab bin Al-Asyraf menolak dakwah Rasulullah karena dengki. Mereka dengki karena nabi yang diutus Allah dari bangsa Arab, bukan dari kalangan mereka, Yahudi.
Penolakan terhadap ajaran Islam yang dibawa Nabi juga boleh jadi disebabkan karena alasan kekuasaan (di antara yang menolak Islam karena motif ini adalah Abu Lahab, Ummu Jamil, Al-Walid bin Al-Mughirah, Uthbah bin Rabi’ah, Al-Harits bin Qais al-Sahmi, dan Abdullah bin Ubay bin Salul).
Ada pula yang menolak ajaran Nabi Muhammad karena alasan ekonomi dan status sosial (hal ini diwakili oleh Umayyah bin Khalaf Al-Jumahi).
Ada pula yang dengan alasan kesetiaan pada keyakinan nenek moyang seperti Abu Jahal dan Al-Ash bin Wail.
Namun semua alasan itu tidak dapat diterima karena nilai kebenaran harus lebih dijunjung dan didahulukan daripada alasan-alasan subjektif lainnya. Sebab pertimbangan obyektif lebih layak diterima secara rasional dan oleh kalangan manusia berakal daripada pertimbangan subyektif.
Argumentasi wahyu yang bersifat absolute (qoth’i tsubut) dibawa oleh Rasulullah dari Allah sang Maha Pencipta yang tidak memiliki kepentingan apapun kecuali hanya semata kasih sayang kepada hamba-Nya. Maka hal itu pasti membawa kemaslahatan bagi umat manusia.
Bagi seorang muslim penerimaan terhadap aturan ajaran Islam adalah bentuk konsekuensi atas keimanan sekaligus wujud kecintaannya kepada Rasulullah. Bagi seorang muslim yang telah memproklamasikan kalimat persaksian syahadat maka tidak ada ruang baginya melakukan penolakan terhadap aturan-aturan itu karena keimanan membutuhkan loyalitas total. Sebagaimana ditegaskan Allah swt:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Ali Imran: 31).
Demikian pula bahwa keimanan yang benar itu tidak memberikan ruang untuk loyal pada selain kepada Allah dan Rasul-Nya, dan segala hal ketetapan aturan yang telah digariskan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah saw:
عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بِنِ عمْرِو بْنِ العَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : “لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعَاً لِمَا جِئْتُ بِهِ” حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.
“Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amr bin Al Ash radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: ”Rasulullah saw bersabda: ”Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mau mengikuti apa yang aku bawa.” (Al Baihaqi).
Sabda Nabi ini sejalan dengan apa yang disampaikan Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65).
Dan juga firman Allah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).
Solusi Islam di masa new normal
Berdasarkan dalil di atas maka manakala Islam memberikan sebuah tawaran solusi atas berbagai persoalan kemanusiaan hingga akhir zaman kelak, termasuk dalam hal bagaimana manusia menjalani kehidupannya di masa new normal seperti saat sekarang ini.
Islam mengajarkan tentang bagaimana seorang muslim harus hidup bersih dan suci, melalui mekanisme wudu dan salat, mengonsumsi makanan yang baik, menyehatkan, tayib, lagi halal. Menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan, menjaga jarak di antara mereka dan tidak bercampur (ikhtilat).
Semua aturan yang ditetapkan dalam protokol kesehatan penanggulangan covid sejatinya adalah implementasi secara nyata dari aturan aturan Islam dalam kehidupan. Dengan kata lain sejatinya ajaran Islam adalah bersifat futuristik mampu menggapai realitas kehidupan masa depan.
Jika demikian adanya, maka masihkah manusia merasa malu menyatakan secara jujur atas kebenaran dan keluasan dari ajaran Islam ini yang telah nyata memberikan solusi yang tepat serta cerdas dalam menghadapi persoalan manusia modern khususnya di saat terjadi wabah pandemi Corona ini?
Kesediaan diri kita untuk melakukan satu perubahan sikap menuju tatanan hidup baru yang lebih baik dan lebih Islami sangat ditentukan oleh mindset kita masing-masing.
Untuk itu, penolakan atas kebenaran ajaran Islam yang berkesesuaian dengan konteks problematika umat manusia saat ini, masihkah bisa diterima secara rasional?
Penolakan atas kebenaran ajaran Islam adalah sebuah ignorance, dan penerimaannya adalah sebuah keniscayaan rasional.