Suaramuslim.net – Meskipun menolak gagasan NKRI Bersyariah dari Habib Riziq Shihab, Denny JA – melalui artikel singkatnya berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?” – memberikan kritik yang konstruktif. Sayangnya, judul tulisan Denny JA yang beredar meluas di media sosial itu masih bernada dikotomis. Padahal, tidak sepatutnya demikian.
Hanya saja, tantangan yang diberikan Denny JA untuk memperjelas gagasan “NKRI Bersyariah” patut diapresiasi. Sebab, memang, aspirasi pelaksanaan syariah Islam di Indonesia bukan hal baru.
Sejumlah pendiri bangsa sudah menyuarakan hal ini jauh sebelum kemerdekaan RI. KH Hasyim Asy’ari, misalnya, menulis dalam kitabnya, Adabul Alim wal-Muta’allim, bahwa: “Tauhid mewajibkan iman. Siapa yang tiada beriman, maka tiada bertauhidlah dia. Iman mewajibkan syariat. Siapa yang tidak bersyariat, maka tiada berimanlah dia. Dan syariat mewajibkan adab. Maka, siapa yang tiada beradab, tiadalah ia bersyariat, tiadalah ia beriman, dan tiadalah ia bertauhid.”
Dalam sidang BPUPKI, tahun 1945, Ketua Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, menepis suara-suara yang meragukan syariat Islam. Menurut Ki Bagus, syariat Islam tak berjalan di Indonesia adalah karena “tipu-muslihat curang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang senantiasa berusaha hendak melenyapkan agama Islam dari jajahannya.” (Lihat, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987).
Dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-11 di Banjarmasin, 19 Rabiulawwal 1355 H/ 9 Juni 1936, muncul pertanyaan kepada para ulama: “Apakah Negara Kita Indonesia Negara Islam?” Dijawab: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan “negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap selamanya.” (Lihat buku Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), terbitan Lajnah Ta’lif wan-Nasyr (LTN NU) Jawa Timur dan Khalista Surabaya (2007).
Dan patut dicatat, Pancasila yang resmi berlaku saat ini adalah rumusan Pancasila hasil sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian diperkuat dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam sejarah Indonesia, ada lima jenis rumusan Pancasila yang pernah diterapkan secara resmi.
Pertama, rumusan Piagam Jakarta (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya).
Kedua, rumusan pembukaan UUD 1945 (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa).
Ketiga, rumusan versi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Perikemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan ini berlaku 27 Desember 1949.
Keempat, rumusan UUDS 1950 yang isinya sama dengan rumusan UUD RIS.
Dan kelima, rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya sama dengan rumusan 18 Agustus 1945, tetapi ada penegasan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Prof. Muhammad Yamin, seorang perumus Lima Asas Negara di samping Soekarno yang juga penandatangan Piagam Jakarta, dalam bukunya, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, membuat pernyataan. Ujarnya, “Ajaran filsafat Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata pembuka Konstitusi Republik Indonesia 1945, dalam Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Konstitusi Republik Indonesia 1950 adalah seluruhnya berasal dari Piagam Jakarta bertanggal 22 Juni 1945.”
Ujarnya lagi, “Piagam itu ditandatangani oleh sembilan orang Indonesia terkemuka, sebagai suatu pembangunan tinjauan hidup bangsa Indonesia bagaimana Negara Republik Indonesia harus dibentuk atas panduan ajaran itu.”
Adil dan Beradab
Mempertentangkan syariat Islam dengan Pancasila adalah ahistoris dan tidak logis. Apalagi, faktanya, syariat Islam memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, mulai dari aspek pribadi sampai kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang menolak syariat pun, ketika kawin dan mati, ‘nurut saja’ ketika dikawinkan dan dikubur dengan cara syariat Islam.
Hingga kini, Kementerian Agama masih mengatur pelaksanaan beberapa aspek syariat Islam. Begitu juga Bank Indonesia telah menjadikan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai panduan pengaturan perbankan syariah di Indonesia. Berbagai aspek syariat pun kini sudah diatur dalam UU – seperti UU Zakat, UU Haji, UU Perkawinan, dan sebagainya.
Yang perlu dicatat, umat Islam memiliki keunikan dalam soal pelaksanaan hukum-hukum agamanya. Islam tidak punya tradisi berpikir sekuler seperti di Barat.
Prof. Bernard Lewis, dalam bukunya ‘What Went Wrong?’ menjelaskan masalah ini: “The reason why Muslims developed no secularist movement of their own, and reacted sharply against attempts to introduce one from abroad, will thus be clear from the contrasts between Christian and Muslim History and experience. From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction.”
Kasus larangan pemakaian jilbab di sejumlah ruang publik di Turki dan Indonesia menjadi contoh kegagalan penolakan syariat atas kaum muslim. Maka, yang sepatutnya dilakukan bukan menolak syariat, tetapi merumuskan dan mengaktualkan pelaksanaan syariat Islam dalam konteks keindonesiaan, secara adil dan beradab.
Itulah makna penting dari rumusan KH Hasyim Asy’ari, bahwa “tanpa adab, maka tiada syariat” (faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū).
Dalam rumusan Ibnu Hajar al-Asqalany, adab adalah “isti’mālu mā yuhmadu qawlan wa fi’lan” (Melaksanakan segala perkataan dan perbuatan yang terpuji).
Juga, kata Ibnu Hajar, sebagian ulama menyatakan, bahwa adab adalah penerapan akhlak mulia (al-akhdzu bi-makārimil akhlāqi). (Lihat, disertasi Doktor Pendidikan Islam dari Syarif Hidayat, berjudul Konsep Pendidikan Berbasis Adab Ahmad Hassan, di Program Pasca Sarjana UIKA Bogor, 2018).
Perintah agar orang Muslim berlaku adil dan beradab sangat melimpah dalam Al-Quran dan Hadis. Dan memang, aspek terpenting dari pelaksanaan syariat adalah kualitas menusianya. Hanya manusia-manusia yang adil dan beradab (berakhlak mulia), yang akan mampu menjalankan syariat dengan baik dan menampilkan keindahan syariat Islam.
Di tangan manusia yang zalim dan hilang adab (biadab), syariat akan dipermainkan. Atau, minimal, ia tidak akan bisa menerapkan syariat dengan kadar dan cara yang tepat.
Karena itulah, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam Pertama di Kota Mekkah, tahun 1977, salah satu gagasan penting yang dihasilkan adalah bahwa: “the central crisis of muslim today is loss of adab”.
Gagasan itu disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas – cucu Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas atau Habib Kramat Empang Bogor – yang juga menjadi editor kumpulan makalah seminar tersebut. Loss of adab, kata al-Attas, adalah “loss of discipline – the discipline of body, mind, and soul.” (Lebih jauh, lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979).
Aspek-aspek keadilan, kejujuran, kebersihan, kemanusiaan, keindahan, kedisiplinan, kerja keras, dan sebagainya, itulah yang tercakup dalam aspek adab dan akhlak.
Harusnya, kaum muslim, dan negeri muslim, menjadi teladan dalam penerapan nilai-nilai universal tersebut. Sebab, Nabi Muhammad SAW memang diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Harusnya, Indonesia – sebagai negeri Muslim terbesar di dunia – menjadi contoh dalam penerapan kedisiplinan, kebersihan, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya. Inilah agenda besar umat Islam Indonesia.
Tetapi, upaya untuk mewujudkan ruang publik yang manusiawi itu tidak harus dilakukan dengan sikap “anti-syariat.” Sebab, syariat itu ketentuan Tuhan.
Orang Muslim pasti yakin, Tuhan tidak menurunkan syariat-Nya untuk mencelakai manusia. Yang diperlukan, menurut al-Attas, adalah “tathbiq asy-syariah fii maqaamil ihsan”; menerapkan syariah dalam “maqam ihsan.”
Saat syariat diterapkan, maka yang perlu kita tanyakan adalah: siapa polisinya, siapa jaksanya, siapa hakimnya, siapa pengacaranya, dan juga orang macam apa yang berperkara dengan syariat tersebut.
Jangan syariat hanya jadi jargon politik. Syariat perlu keteladanan, keikhlasan dan kesungguhan dalam perumusan dan penerapannya. Di tangan orang yang tidak beradab dan serakah dunia, syariat bisa diperjualbelikan untuk kepentingan duniawi.
Karena itulah, menurut hemat saya, agenda utama dan mendesak umat Islam Indonesia saat ini adalah mencetak manusia-manusia yang adil dan beradab, manusia yang berakhlak mulia.
Inilah yang diamanahkan oleh UUD 1945 pasal 31 (c), bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di negara yang adil dan beradab, syariat dan nilai-nilai kemanusiaan universal bisa diletakkan pada tempatnya secara proporsional (adil). Tidak perlu keduanya dipertentangkan.
Nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh dibiarkan menjadi liar sampai melanggar syariat. Jangan sampai, misalnya, nilai-nilai kasih sayang pada sesama manusia diwujudkan dengan pembenaran dan legalisasi seks bebas serta perkawinan sesama jenis.
Akhirul kalam, apa pun bentuk negaranya, para pemimpin dan rakyatnya tetaplah manusia; hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi. Sudah sepatutnya, jika loyalitas tertinggi mereka diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jangan seperti Iblis. Percaya kepada Tuhan, tetapi membangkang dan sombong! Wallahu A’lam.**
Sukabumi, 31 Desember 2018.
Penulis: Adian Husaini, Ph. D
*Pendiri Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok, Jawa Barat, dan Ketua Program Doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun, Bogor.
**Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net