GOWA (Suaramuslim.net) – Beberapa waktu ini, santer terdengar cerita seorang nenek yang terendam di dalam air bah setinggi lehernya sembari menggendong bocah. Ia berpegangan pada sebuah pohon, sang Nenek bertahan memeluk anak -kemudian diketahui sebagai cucunya- dari arus banjir. Fotonya kini sudah tersebar, pun dengan cerita pengorbanannya menyelamatkan cucunya dari terjangan arus bah yang deras.
Nenek itu ialah Nurjannah Djalil (70) bersama sang cucu Waliziab Muhammad Nur (2). Mereka merupakan korban terdampak banjir Sulawesi Selatan yang berasal dari Bendungan Bili-bili. Bendungan itu meningkat debit airnya pasca guyuran hujan lebat pada Selasa (22/1) lalu.
Awalnya foto Nurjannah dan Wali cucunya hanya menjadi buah bibir semata. Gambaran parahnya banjir di Sulsel dapat dilukiskan dari foto mereka. Namun, beberapa hari kemudian kisah pengorbanan perempuan 70 tahun itu berujung pada kabar duka.
Nurjannah yang merupakan warga Desa Rantebelu, Kecamatan Larompong, Kebupaten Gowa meninggal setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Syech Yusuf Sungguminasa. Kabar yang beredar di media massa menyebut bahwa Nurjannah meninggal akibat serangan jantung dan terlalu banyak meminum air banjir.
Namun, anak Nurjannah, Ananda Dina Algina, menuturkan ibunya meninggal bukan karena terlalu banyak meminum air banjir. Dalam akun media sosialnya, Nanda panggilannya, mengatakan ibunya meninggal setelah terkena serangan jantung.
“Tidak seperti yang diberitakan, kabarnya ibu saya terjebak 3 jam, padahal hanya satu jam,” ungkapnya, Kamis (24/1) mengutip pernyataan di akun media sosial Nanda.
“Setelah itu langsung dibawa pulang ke rumah. Ibu saya sempat jadi korban yang selamat, bukan karena tenggelam, tapi ibu saya meninggal satu hari kemudian akibat serangan jantung” tambahnya.
Foto Nurjannah dan Wali merupakan hasil jepretan Nanda. Ia banyak mendapatkan komentar tidak mengenakkan akibat foto itu. Namun, ia menjelaskan foto itu diambil untuk dikirimkan kepada kerabatnya guna mencari pertolongan. Bahkan, ia tak sempat untuk mengirimkan pesan melalui teks, sehingga pesan suara yang ia kirimkan.
“Saya tidak menyelamatkan langsung ibu saya padahal di tempat yang sama karena saya tidak bisa berenang, dan air itu sangat tinggi juga berarus. Saya hanya berpijak pada batang yang rapuh dan berpegangan pada pohon pisang. Tak bisa saya berbuat apa-apa hanya berteriak dan mencari pertolongan,” terang Nanda.
Nenek Nurjannah kini telah berpulang. Segala cerita tentang si nenek menjadi bagian dari ingatan kolektif publik di Indonesia, tentang perjuangan untuk bertahan hidup, tentang kasih sayang dari nenek ke cucu, juga tentang parahnya bencana banjir yang bisa terjadi di puncak musim hujan di Indonesia.
Sumber: Dian Laksana ACT Jatim
Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net