Pajak Kekayaan, Spirit Ekonomi Syariah dan Solusi Atasi Krisis Ekonomi

Pajak Kekayaan, Spirit Ekonomi Syariah dan Solusi Atasi Krisis Ekonomi

Agung Wijayanto, Presiden Direktur Laznas LMI.

Suaramuslim.net – Satu setengah tahun badai pandemi Covid-19 sudah menghantui dunia. Bahkan di bulan Juni-Juli 2021, serangan gelombang kedua memporak-porandakan banyak negara.

Data per 9 Juli 2021 menunjukkan terdapat lebih dari 185,5 juta orang telah positif terjangkiti Covid-19. Dari jumlah tersebut, angka kematiannya mencapai lebih dari 4 juta jiwa.

Di Indonesia sendiri, menurut situs resmi Kementerian Kesehatan pada 9 Juli 2021, jumlah kasus positifnya sudah hampir mencapai 2,5 juta orang dan angka kematiannya telah melampaui 64 ribu jiwa.

Tentu saja selain data tersebut, terdapat kemungkinan masih banyak kasus yang belum terlaporkan ke pihak yang telah ditunjuk oleh pemerintah (tim satgas Covid-19 nasional).

Melihat besarnya kasus yang terjadi dan masih belum ada tanda-tanda melandai, tentu menjadi sebuah keprihatinan sekaligus kekhawatiran nasional. Sejauh ini pandemi Covid-19 telah membawa dampak yang sangat serius terhadap hampir seluruh aktivitas publik bahkan seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Menurut laporan dari organisasi internasional WHO bersama dengan International Labour Organization (ILO), Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) pada bulan Oktober 2020 disebutkan bahwa disrupsi sosial ekonomi akibat Covid-19 sangat besar.

Jutaan orang dapat jatuh menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Jumlah orang yang kekurangan gizi di dunia diperkirakan lebih dari 800 juta orang di akhir tahun 2020.

Dunia usaha mengalami guncangan yang sangat hebat. Lebih dari 1,5 miliar pegawai atau pekerja di dunia menghadapi risiko kehilangan mata pencaharian dalam berbagai stratanya.

Sektor ekonomi informal juga mendapat tantangan yang tidak kalah dahsyat. Puluhan juta petani di dunia, begitu juga pekerja migran menghadapi situasi ekonomi yang sangat sulit dengan berkurang atau bahkan lenyapnya penghasilan mereka.

Sementara itu, kalau kita cermati kondisi secara makro di tanah air juga tidak kalah mengkhawatirkan. Sesuai data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan RI melalui situs websitenya, disebutkan bahwa realisasi pendapatan negara di APBN 2020 hanya mencapai Rp1.633,6 triliun (96,1% dari target Perpres 72/2020).

Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2019, realisasi pendapatan negara tahun 2020 tersebut terkontraksi (tumbuh negatif) sebesar -16,7%. Untuk penerimaan perpajakan yang menjadi penopang utama penerimaan APBN juga mengkonfirmasi kondisi makro tersebut.

Direktorat Jenderal Pajak melalui situsnya website-nya telah melaporkan realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2020 hanya sebesar Rp1.070 triliun (terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi pada tahun 2019 yang mencapai Rp1.332,7 triliun).

Kondisi berat seperti sekarang ini tentu saja tidak cukup kalau sekadar diratapi, akan lebih baik tentunya jika seluruh anak bangsa terus bahu membahu saling bergotong royong untuk mencoba keluar dari krisis yang saat ini terjadi.

Salah satu solusi yang layak disampaikan kepada pemerintah adalah bagaimana menambah sumber-sumber penerimaan negara yang akan secara signifikan dapat menutup defisit anggaran penerimaan dan belanja negara.

Pajak sebagai salah satu instrumen yang legal dan konstitusional masih akan menjadi penyelamat keuangan negara kedepan dengan catatan bisa secara tepat menentukan perluasan subjek maupun objek pajaknya.

Sudah saatnya untuk mulai menghadirkan atau memberlakukan selain pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang selama ini menjadi penentu utama penerimaan pajak.

Dalam Islam, diskursus tentang keuangan publik dan pajak (kebijakan fiskal) telah dijadikan sebagai kajian yang intens dan berkelanjutan. Pengelolaan keuangan publik dalam Islam telah lama dipraktikkan, dari masa Baginda Nabi Muhammad SAW hingga masa al-Khulafa ar-Rasyidin yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para ulama setelahnya.

Kebijakan Fiskal dimaknai sebagai langkah pemerintah untuk membuat berbagai regulasi dan mekanisme dalam sistem perpajakan atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan goverment expenditure).

Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen guna mencapai tujuan syariah seperti yang di jelaskan Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga keimanan (hifdzuddin), kehidupan, intelektualitas (hifdzul al-aql), kekayaan dan kepemilikan (hifdzul maal).

Sementara itu, al-Mawardi pernah menyampaikan bahwa dalam kondisi sumber-sumber keuangan dan pendapatan negara tidak mampu mencukupi berbagai kebutuhan anggaran negara atau terjadi defisit anggaran, maka negara dapat menetapkan pajak baru sebagai langkah alternatif.

Saat ini himpitan krisis ekonomi sebagai dampak dari pandemi panjang Covid-19 telah benar-benar membuat kondisi kas negara begitu berat (penerimaan tahun 2020 minus hampir 20% dibandingkan tahun sebelumnya seperti yang sudah dijelaskan di atas).

Melihat kondisi tersebut, kira-kira “Pajak Baru” seperti apa yang layak dipertimbangkan untuk diimplementasikan sebagai bagian dari pemikiran, pengalaman panjang sejarah Islam serta nilai-nilai genuine yang ada dalam al-Islam sebagai sebuah sistem nilai yang komprehensif??

Beberapa waktu yang lalu, Forbes kembali merilis daftar terbaru dari orang terkaya di dunia untuk tahun 2021. Dari daftar orang-orang terkaya di dunia tersebut, puluhan orang Indonesia masuk dalam daftar 100 orang terkaya di seluruh dunia.

Hal yang cukup mencengangkan, dari 20 orang terkaya di Indonesia tersebut, ketika seluruh hartanya dijumlahkan tidak kurang dari 78 milliar dollar USA atau lebih dari Rp1.100 triliun (kurs sekarang). Dahsyat memang, kekayaan 20 orang melebihi seluruh penerimaan pajak negara selama satu tahun.

Di tahun sebelumnya, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto pernah menyatakan “satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10 persen keluarga maka ini menguasai 70 persen.”

Hal ini juga dikonfirmasi dengan laporan dari Global Wealth Report 2019 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse bahwa Indonesia memiliki 115 ribu penduduk yang masuk ke dalam kategori 1 persen orang paling kaya di dunia.

Di dalam laporan tersebut disampaikan, 1 persen penduduk paling kaya di dunia ini memegang hampir setengah dari keseluruhan aset global. Mereka yang masuk ke dalam kategori ini, setidaknya memiliki kekayaan senilai 936.400 dollar AS atau setara dengan Rp131,84 miliar (kurs: Rp14.079).

Dari sini sudah bisa dihitung kira-kira berapa total kekayaan 115 ribu orang Indonesia tersebut. Dengan rumus matematika sederhana didapatkan jumlah kekayaan mereka tidak kurang dari Rp15.000 triliun (115 ribu orang x Rp131,84 miliar) atau hampir setara dengan 10 x realisasi APBN tahun 2020. Amazing bukan…

Pertanyaannya dari kekayaan sekitar Rp15.000 triliun tersebut berapa pajak yang telah disetor ke kas negara??

Sayangnya di dalam Undang-Undang Perpajakan yang berlaku di Indonesia saat ini belum memberlakukan adanya “Pajak Kekayaan (Wealth Tax)”. Yang ada baru semacam “pajak kekayaan artifisial” dengan nama kebijakan “Tax Amnesty” yang digelar di tahun 2016-2017 yang lalu dengan hasil: total deklarasi harta kurang dari 5.000 triliun dan setoran pajaknya hanya sekitar Rp135 triliun.

Kenapa penulis memberi nama “pajak kekayaan artifisial”? Melihat hasilnya masih jauh dari potensi yang seharusnya bisa direalisasikan karena kebijakannya masih bersifat parsial.

Tentang pandangan Pajak Kekayaan sebagai solusi cerdas di saat krisis ekonomi sekarang ini, sejalan dengan Laporan ”Fiscal Monitor 2021” yang diterbitkan oleh IMF (Dana Moneter Internasional).

IMF menilai, penarikan pajak atas kekayaan atau wealth tax sebagai amunisi fiskal yang ampuh. Pemerintah suatu negara dapat memanfaatkan pajak kekayaan untuk menambal kebutuhan anggaran belanja jangka pendek di tengah seretnya prospek penerimaan pajak akibat pandemi Covid-19. Pemajakan atas kekayaan bisa menjadi alternatif jika pemerintah kesulitan mengumpulkan penerimaan melalui Pajak Penghasilan (PPh).

Sementara itu, dalam sistem ekonomi Islam melarang setiap pribadi atau individu dengan alasan apapun menumpuk segala harta benda kekayaan dan tidak mendistribusikannya kepada masyarakat yang kekurangan. Karena hal tersebut pasti akan berpotensi menimbulkan ketimpangan sosial ekonomi yang akan mengganggu stabilitas negara.

Setiap muslim memiliki kewajiban untuk ikut mencegah terjadinya atau semakin membesarnya kondisi tersebut. Karena salah satu value syariah adalah mencegah terhadap penumpukan harta, maka syariah sangat menekankan kepada para pemeluknya untuk mendistribusikan segala harta benda dan kekayaan mereka.

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 2).

Untuk selanjutnya, tentu tidak cukup bagi kita hanya dengan meratapi atau na’udzubillah kalau sampai mengutuk ‘episode’ (ketentuan Allah) yang sekarang ini sedang terjadi.

“Dan betapa banyak Nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali-Imran: 146).

Kedepan, Pajak Kekayaan (Wealth Tax) akankah menjadi solusi ataukah sekadar ilusi? 15.000 triliun rupiah memang jumlah yang fantastis, tapi 5-10% dari jumlah tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil. Di tengah getirnya dampak pandemi yang berkepanjangan ini, banyak anak bangsa yang akan terselamatkan dari realisasi sebagian angka tersebut.

Agung Wijayanto
Presiden Direktur Laznas LMI
Mahasiswa S3 Jurusan Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment