Suaramuslim.net – Soekarno pernah bilang, Pancasila itu weltanschauung.
Makna filsafatinya adalah pandangan kepada dunia yang merupakan orientasi kognitif mendasar suatu individu atau masyarakat, yang mencakup seluruh pengetahuan termasuk filsafat alami; anggapan fundamental, eksistensial, dan normatif; atau tema, nilai, emosi, dan etika.
Saya kira itu adalah ungkapan emosional Soekarno. Saya berhusnuzon pada Soekarno (muda kala itu), bahwa ia menikmati dan menghayati apa itu weltanshauung. Melihat kesukaannya membaca buku-buku filsafat dan teori politik/negara.
Tetapi belakangan, secara populis begitu sederhananya, Pancasila diterminologikan sebagai pandangan hidup (way of life). Padahal way of life adalah noktah parsial dari weltanschauung itu sendiri.
Keterbatasan atau lebih tepat kemalasan para pemimpin dan politisi memahami sejarah dan asbabun nuzul dari Pancasila, membuat Pancasila hanya sebagai kerak jargon tanpa ruh filsafatinya yang dalam.
Saya lebih menyukai weltanschauung diartikan sebagai esensi yang lebih zuhud untuk pemimpin dan lebih syariat dalam tataran praksis.
Jadi Pancasila itu tariqah dan sekaligus syariat kebangsaan. Tapi sayang kalau saya bilang tariqat dan syariat, banyak yang menganggap saya kekanan-kananan. Padahal weltanschauung di Jerman dipakai oleh orang kiri yang sosialis.
Tapi apa lacur hari ini?
Pemimpin, politisi, akademisi, seperti loyo berbicara tentang filsafat, tentang weltanschauung, tentang tariqat kebangsaan. Maka jauh panggang dari api kita bicara karakter bangsa, kalau perkara filsafati kepemimpinan politik maupun pendidikan tak mau diremah-remah kembali. Malah sibuk mematikan Pancasila dengan jargon statik, “Pancasila harga mati”.
Padahal kalau mau kembali pada apa yang dibayangkan Soekarno, Pancasila adalah sesuatu yang hidup.
Pancasila secara sosiologis akan dinamis, maka kita perlu memikirkan; Pancasila on disruptive era, and also Pancasila for 4.0 challanges.
Bukan pidato datar dan orasi semu seolah Indonesia sudah selesai dengan penguatan dasar negaranya dan pandangan hidup bangsanya.
Duhai Pancasila dalam dekap cintaku padamu, masih ada tetes air mata terjatuh di pipiku.
Engkau belum jadi kekasih rakyat di tatar nusantara ini. Engkau terkadang justru menjadi sak wasangka antar pemandangmu.
Pancasila, bersabarlah dirimu, waktu jualah yang akan mematangkan wujudmu.
Salam
Penulis: Yudha Heryawan Asnawi
Editor: Muhammad Nashir
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net