PBB dan Berbagai Tokoh Internasional Tolak Tegas Klaim Trump Atas Yerusalem

PBB dan Berbagai Tokoh Internasional Tolak Tegas Klaim Trump Atas Yerusalem

PBB dan Berbagai Tokoh Internasional Tolak Tegas Klaim Trump Atas Yerusalem

Suaramuslim.net – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya menentukan sikap tegas untuk menolak statemen Donald Trump yang menyangkut status Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Penolakan itu disampaikan dalam pernyataan resmi disampaikan lima duta negara-negara besar, yaitu Inggris Raya, Prancis, Swedia, Jerman, dan Italia. Kelimanya juga dapat dikatakan mewakili suara Uni Eropa. Dengan perkataan lain, pihak sekutu AS di Barat itu tidak akan mengakui kekuasaan negara mana pun atas Yerusalem.

Dalam pernyataan resmi mereka, status Yerusalem harus ditentukan melalui serangkaian negosiasi antara Israel dan Palestina sehingga menuju kesepakatan yang tuntas, demikian kutipan pernyataan resmi yang dimaksud, seperti dilansir News.com.au, Sabtu (9/12).

Pernyataan resmi tersebut juga menekankan pentingnya melanjutkan pendekatan solusi dua-negara terhadap konflik Palestina-Israel. Laporan News.com.au menambahkan, Amerika Serikat (AS) tampak dikucilkan oleh seluruh peserta sidang DK PBB kali ini. Nikki Haley, utusan khusus AS untuk PBB, hanya kelihatan didekati perwakilan Israel untuk PBB, Danny Dannon, sebelum sidang tersebut dimulai.

Sebelumnya, delapan dari total 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB meminta digelarnya sidang darurat terkait situasi terkini Timur Tengah. Tensi konflik di wilayah tersebut meningkat pesat setelah presiden AS Donald Trump mengakui bahwa Yerusalem adalah milik Israel pada Rabu lalu.

Mayoritas Sekutu AS Menentang Kebijakan Trump

Senada dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh PBB, sebagian besar sekutu AS di Eropa menentang kebijakan internasional Trump soal Yerusalem yang bertolak belakang dengan kebijakan para presiden AS sebelumnya.

Dilansir dari laman pikiranrakyat.com, Prancis menolak keputusan “sepihak” tersebut sambil menyerukan agar warga di kawasan Timur Tengah untuk tetap tenang dan tak terpancing melakukan kekerasan. Sementara Inggris mengatakan bahwa langkah tersebut tidak akan membantu usaha perdamaian dan Yerusalem pada akhirnya harus dibagi oleh Israel dan sebuah negara Palestina di masa depan.

Sekutu AS lainnya, Jerman juga ikut menentang kebijakan Trump. Otoritas Berlin mengatakan bahwa status Yerusalem hanya bisa diselesaikan berdasarkan solusi dua negara.

Tak hanya itu, Mayoritas mantan duta besar Amerika Serikat (AS) untuk Israel juga berseberangan pendapat dengan Presiden AS Donald Trump atas klaimnya Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dilansir dari laman republika.com, Daniel Kurtzer, Mantan Dubes Amerika untuk Israel periode 2001-2005 mengatakan, “Ada banyak dampak buruk, baik secara diplomatik maupun terkait keamanan serta upaya perdamaian di Timur Tengah. (Kebijakan Trump) Ini tidak ada untungnya,”  ujarnya.

Sosok yang bekerja semasa pemerintahan presiden AS George W Bush itu menambahkan, AS akan diisolasi dunia internasional akibat kebijakan Trump ini. “Tentu saja selain oleh Israel, yang jelas mendukung kebijakan (Trump) ini. Kita sedang menjauh dari apa-apa yang pernah disampaikan sendiri oleh presiden (Trump). Dia pernah berjanji menjadi mediator perdamaian (di Timur Tengah),” lanjut Kurtzer.

Bekas dubes AS untuk Israel periode 2005-2009, Richard Jones, juga mengatakan hal senada. Sosok ini pun bekerja di era Bush. Menurut Jones, langkah Trump mengakui status Yerusalem untuk ibu kota Israel hanya berujung pada peningkatan tensi konflik. Apalagi, Hamas diketahui langsung merespons dengan seruan intifada baru.

“Jelas ini langkah yang berisiko. Tak diragukan lagi, akan banyak korban nyawa di pihak Israel dan kawasan (Timur Tengah). Khususnya, ketika kelak Israel akan memakai keputusan (Trump) itu sebagai pembenaran untuk memperluas permukiman (Yahudi di Yerusalem –red),” ujar Richard Jones.

Para dubes AS untuk Israel lainnya yang mengecam keputusan Trump itu adalah Martin Indyk yang aktif pada periode 1988-1992, William Caldwell Harrop dubes era 1992-1993, Edward Djerejian dari era 1993-1994, Thomas Pickering yang aktif di era presiden Ronald Reagan, serta James Cunningham yang mengabdi pada masa Bush dan Obama.

Kontributor: Mufatihatul Islam
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment