Seratus persen saya setuju terhadap alasan pembubaran ormas HTI. Karena rangkaian panjang kegiatan HTI, dipandang memiliki ultime goal pada penggantian sistem pemerintahan RI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Kebhinekaan, dan NKRI dengan sistem pemerintahan khilafah. Namun, saya tidak setuju terhadap prosedur pembubaran ormas sebagaimana diatur dalam Perpu N. 2/2017, dengan meniadakan peran peradilan untuk menguji secara yuridis keabsahan alasan yang disebut pemerintah.
Karena keberadaan ormas di Indonesia sebagai manifestasi dari hak kemerdekaan berserikat yang dijamin oleh konstitusi, maka pembubaran ormas, harus didasarkan pada prinsip yang diatur dalam pasal 28I ayat (5) UUD 1945, harus sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Salah satu elemen penting negara hukum demokratis , adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Dengan tidak melibatkan pengadilan dalam pembubaran ormas, Pemerintah secara sepihak dapat membubarkan ormas yang ada. Di tangan rezim yang represif dan otoriter, maka tidak tertutup kemungkinan perpu tersebut, akan menyasar berbagai ormas yang dipandang oleh pemerintah tidak sejalan dengan arah kebijakan pemerintah.
Hal ini mengingkatkan kita pada UU Subversif pada era Orde Baru, yang sering dipergunakan oleh pemerintah untuk “menggebuk” dan “memberangus” lawan-lawan politiknya. Walaupun pada akhirnya UU Subversif dicabut, karena dianggap represif.
Memang, negara hukum demokratis selalu menyediakan rule and prosedur pembubaran ormas, sehingga dibutuhkan tidak saja kesadaran hukum, tetapi juga kesabaran hukum.