Pemilu Tidak Langsung dan Jabatan Presiden Diperpanjang?

Pemilu Tidak Langsung dan Jabatan Presiden Diperpanjang?

Tipografi politik

Suaramuslim.net – Setidaknya ada tiga wacana yang sedang santer beredar. Satu sudah dieksekusi, dua masih dalam ikhtiar. Ketiga hal ini jika disahkan, maka akan jadi pembeda antara rezim Jokowi dengan rezim-rezim sebelumnya di era reformasi

Yang sudah dieksekusi adalah revisi UU KPK. Super powernya bukan lagi pimpinan KPK, tapi dewan pengawas. Sejak revisi UU KPK itu disahkan, maka penyadapan, penggeledahan dan penyitaan menjadi domain dewan pengawas.

Dewan pengawas tidak hanya bertugas mengawasi, tetapi punya kewenangan memberi ijin boleh tidak penyidik melakukan tiga fungsi di atas, yaitu penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Dan lima anggota dewan pengawas itu direkrut dan dipilih oleh presiden. Sampai disini, Anda paham?

Kedua, ini masih usulan yaitu pemilu tidak langsung. Kenapa? Alasannya klasik: karena biaya politik yang begitu besar dan memicu terjadinya korupsi. Emang di masa Orde Baru lebih sedikit jumlah pelaku dan uang yang dikorupsi?

Kenapa terjadi korupsi? Di antaranya karena ada money politics. Ini yang mengakibatkan pembengkakan cost politic. Kenapa terjadi money politics? Karena pemilu langsung, jawab mereka. Karena itu, harus dibuat tidak langsung. Supaya tidak ada lagi bagi-bagi uang. Kalau presiden dan kepala daerah dipilih oleh DPR/DPRD, maka tak lagi ada serangan fajar. Selain itu, anggaran pemilu juga bisa ditekan. Ini penghematan uang negara.

Ingat! Di dalam UU nomor 7 Tahun 2017 pasal 523 telah mengatur hukuman dan denda bagi pelaku money politics. Jika money politics terjadi sebelum hari tenang, hukumannya 2 tahun penjara dan denda 24 juta. Kalau masa tenang hukumannya 4 tahun penjara dan denda 48 juta. Kalau terjadi di hari H, maka hukumannya 3 tahun penjara dan denda 36 juta.

Kenapa bukan pasal 523 ini yang direalisasikan agar bisa mencegah, setidaknya mengurangi praktik money politics? Apalagi di pasal 268 di UU yang sama, kalau calon presiden dan kepala daerah melakukan pelanggaran pemilu (di antaranya money politics) dengan sistematis, terstruktur dan masif, maka aturan hukumnya didiskualifikasi.

Masalahnya, emang pernah ada calon presiden dan kepala daerah yang didiskualifikasi? Kalau ada, itu lebih karena faktor politis dan adu kuat kekuasaan dari pada karena operasi penegakan hukum. Di sini ada masalah keadilan.

Di sisi lain, kalau pemilihan presiden dan kepala daerah diserahkan kepada DPR/DPRD (tidak langsung), emang gak ada lagi bagi-bagi duit? Anggota legislatif mau milih tanpa duit? Tiket partai emang terus gratis gitu? Tidaklah…

Jadi, jangan salahkan pemilu langsung sebagai sebab terjadinya money politics, lalu kembali jadi pemilu tidak langsung. Ini lebih karena faktor law enforcement yang rendah. Di sinilah problem primernya.

Demokrasi Pancasila mendadak berubah jadi demokrasi liberal di mana uang menjadi faktor paling berpengaruh terhadap hasil pemilu itu lantaran hukum tidak ditegakkan. Sampai ada yang bilang: “Indonesia has the most effective election system because people know the result before election.”

Terkait pasal 286, ini mengawang-awang. Karena hampir mustahil bisa membuktikan pelanggaran pemilu secara sistematis, terstruktur dan masif, termasuk praktik money politics. Kalau tak mungkin bisa dibuktikan, buat apa pasal ini dipertahankan.

Apalagi jika dikomparasikan dengan pasal 523 tentang hukuman penjara dan denda bagi pelaku money politics. Apakah calon yang terbukti dan akhirnya divonis 2,3 atau 4 tahun penjara bisa didiskualifikasi jika mereka terpilih? Padahal mereka tidak melakukannya dengan sistematis, terstruktur dan masif. Paradoks!

Selain itu, kalau pilpres atau pilkada diwakili oleh DPR/DPRD, emang mereka mewakili suara dan pilihan rakyat? Kalau mewakili suara rakyat, kenapa sampai 2015 tak kurang dari 19 calon independen yang menang? Ini artinya, rakyat meskipun sudah memilih anggota DPR/DPRD, tak berarti suara mereka sepenuhnya diwakili oleh anggota legislatif tersebut.

Malah, ada calon tunggal yaitu calon wali kota Makasar, kalah melawan kotak kosong. Padahal, semua partai mengusungnya.

Masih mau pemilu tidak langsung? Ini mengebiri suara rakyat, merusak demokrasi dan berpotensi mengembalikan sistem politik ke Orde Baru.

Ketiga, ini patut dicurigai punya kaitan dengan poin nomor dua. Yaitu jabatan presiden diperpanjang. Ada yang mengusulkan ditambah tiga tahun sehingga jadi delapan tahun. Ada juga yang mengusulkan tiga periode. Karena itu, pasal 169 UU No. 7 Tahun 2017 perlu diubah, katanya.

Apa alasan pengusul? Supaya program-program Pak Jokowi yang baik itu bisa dituntaskan. Lalu publik bertanya: baik menurut siapa?

Ketika UU pemilu itu membatasi maksimal presiden itu dua periode, maka pertama, presiden dan timnya sudah harus bisa mengukur program-program apa yang paling efektif dan berdampak yang bisa dikerjakan dalam rentang waktu selama 5 sampai 10 tahun. Dan program berkelanjutan apa bisa diteruskan oleh presiden selanjutnya. Bukan malah minta nambah.

Kedua, untuk membangun Indonesia tidak cukup satu presiden. Indonesia butuh puluhan hingga ratusan presiden. Yang dibutuhkan adalah adanya aturan dan sistem bagaimana pembangunan itu bisa berkelanjutan dari satu presiden ke presiden yang lain. Proses regenerasi adalah keniscayaan.

Ketiga, usulan tiga periode bagi presiden jika disetujui, membuka peluang untuk nambah lagi dan bisa seumur hidup. Kecuali jika dijatuhkan di tengah jalan seperti Soekarno dan Soeharto.

Satu periode saja seorang presiden punya kesempatan untuk kendalikan semua kekuatan negara, apalagi sampai tiga periode. Kalau sudah terlalu lama berkuasa mana mungkin mau turun. Kekuasaan itu menggoda bung!

Dua wacana dan usulan di atas yaitu pemilu tidak langsung dan presiden tiga periode harus serius ditolak rakyat. Saat ini, lebih baik presiden dengan seluruh kekuatannya di kabinet dan kelembagaan negara fokus saja memperbaiki bangsa terutama ekonomi yang tahun depan akan ada gelombang resesi. Fokus pada kerja daripada melakukan rekayasa pemilu dan minta nambah waktu untuk berkuasa.

Jakarta, 13 November 2019
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment