Pemilu Turki Tanpa Polarisasi Ideologi dan Erdogan’s Way

Pemilu Turki Tanpa Polarisasi Ideologi dan Erdogan’s Way

Presiden terpilih Turki Recep Tayyip Erdogan (foto: getty images)

Suaramuslim.net – Gelaran pesta demokrasi di Turki baru saja dihelat, kali ini dengan rasa dan sistem yang baru. Jika sebelumnya rakyat hanya memilih Partai, dan kemudian Pimpinan Pemerintahan yani Perdana Menteri ditentukan oleh Parlemen, kini rakyat Turki memilih langsung Pimpinan Pemerintahan dan Negara yakni Presiden.

Setelah melakukan referendum tahun lalu dalam rangka mengubah sistem pemerintahan negaranya, Turki untuk pertama kalinya melangsungkan Pemilihan Umum dengan sistem yang baru. Dan Recep Tayyip Erdogan, mantan perdana menteri 2 periode itu, kini melanjutkan kepemimpinannya kembali secara sah dan demokratis sebagai Presiden dalam sistem Presidensiil.

Erdogan menang atas dukungan penuh Cumhur Ittifakı atau koalisi kerakyatan yang terdiri dari Justice and Development Party atau Adalet ve Kalkınma Partisi (AK Parti) yang dikenal berhaluan Pos-Islamis dan telah berkuasa sejak tahun 2003, berkoalisi dengan partai berhaluan ultra-nasionalis yakni Nationalist Movement Party atau Milliyetçi Hareket Partisi (MHP) yang didirikan dengan semangat menghidupkan ajaran Mustafa Kemal Attaturk. Ditambah dukungan dari Partai berhaluan Islam Nasionalis yakni Great Unity Party atau Büyük Birlik Partisi (BBP).

Koalisi Kerakyatan bertarung melawan Millet İttifakı atau Koalisi Nasional yang mengusung Muharrem Ince sebagai Calon Presiden, dipimpin Partai tertua di Turki yang berhaluan nasionalis dan sekuler yang didirikan Mustafa Kemal Attaturk yakni Republican People’s Party atau Cumhuriyet Halk Partisi (CHP). Menariknya, CHP yang sekuler berkoalisi dengan Partai Islam yang pernah jadi lawan politiknya yakni Felicity Party atau Saadet Partisi yang didirikan oleh mantan guru Erdogan, Necmettin Erbakan. Koalisi Nasional diperkuat dengan dukungan Good Party atau İYİ Party yang berhaluan liberal konservatif ditambah dukungan dari Demokrat Parti.

Sementara partai yang tak bergabung dalam kedua koalisi besar tersebut adalah Peoples’ Democratic Party atau Halkların Demokratik Partisi (HDP) yang berhaluan pro minoritas terutama mengusung aspirasi etnis Kurdi.

Dari corak koalisi besar yang ada, menunjukkan bahwa polarisasi ideologi terutama antara kalangan Islamis dan kalangan sekuler sejatinya tidak terjadi. Bahkan kalau boleh dikatakan, koalisi terbentuk atas corak pro-Erdogan dan anti-Erdogan. Partai Nasionalis yang mengusung ideologi Kemalis bisa bekerjasama dengan AK Parti yang mengusung corak Islam.

Sementara partai yang bercorak sangat Islamis, bahkan merupakan seteru ideologi yakni antara Saadet dan CHP, bisa berkoalisi. Kita tentu masih ingat bagaimana era keemasan kalangan Islamis di Turki saat Necmettin Erbakan berkuasa lalu kemudian dikudeta oleh kalangan sekuler dan militer. Hingga membuat kalangan Islamis jatuh bangun ketika Refah Parti bubar, berganti menjadi Fezilet Partisi dan kini menjadi Saadet Partisi.

Polarisasi yang disebabkan oleh Erdogan tersebut mau tidak mau terjadi atas manuver akrobatik Erdogan dalam menjalankan langkah-langkah politiknya. Secara ideologis, kalangan Islamis tidak menyukai Erdogan karena dianggap terlalu liberal. Sementara oleh kalangan sekuler, Erdogan dianggap hendak kembali menghidupkan kejayaan Kekhalifahan Turki Utsmani. Maka lobi-lobi politik dan pertemuan kepentingan lah yang akhirnya mempertemukan Erdogan dengan koalisi-koalisinya yang berbeda ideologi. Sebaliknya perbedaan kepentingan ditambah sentimen yang akhirnya menjauhkan Erdogan dengan lawan politiknya, bahkan yang pernah sehaluan dalam satu gerbong yakni Saadet Partisi.

Meski memiliki visi keislaman dan kharisma sebagai pemimpin dunia Islam, Erdogan tak jarang menempuh jalan-jalan oportunis dimana lebih mengutamakan tercapainya tujuan ketimbang lurusnya dan benarnya cara yang ditempuh sesuai haluan Islamis. Diantara justifikasi yang digunakannya ketika dituduh pragmatis dan tidak Islamis adalah Erdogan mengatakan bahwa partai dan negara tidak memiliki agama, sehingga bisa menempuh ragam cara asal tujuan yang dituju tercapai.

Diantara langkah pragmatis Erdogan seperti membuka kembali hubungan diplomatik dengan Israel sembari mengecamnya, membredel media massa yang bertentangan dengannya, membubarkan organisasi dan menangkapi lawan-lawan politiknya terutama yang berafiliasi dengan Fethullah Gullen, dan baru saja guna melanggengkan kekuasaannya, ia menggelar referendum dan mempercepat pemilihan umum. Dan berbagai manuver-manuver oportunis Erdogan lain baik dalam kebijakan dalam negeri maupun kebijakan luar negeri.

Sementara kekuasaan Erdogan berlanjut kembali di periode berikutnya, Erdogan punya banyak pekerjaan rumah diantaranya memperbaiki kondisi Turki yang kini dalam kondisi perekonimian yang tidak baik dengan tekanan inflasi. Yang jelas, fenomena pemilu di Turki yakni pemilu tanpa polarisasi ideologi ditambah langkah-langkah oportunis Erdogan, menunjukkan bahwa politik di Turki berjalan sesuai definisi dari Harold Laswell: Who Gets What, When and How.

Wallahu a’lam bis showab

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment