Pengalihan Utang dari Bank Konvensional ke Bank Syariah

Pengalihan Utang dari Bank Konvensional ke Bank Syariah

Ilustrasi gulungan uang. (Gambar: Unsplash/@rupixen)

Suaramuslim.net – Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah membantu masyarakat untuk mengalihkan transaksi non-syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah.

Lembaga keuangan syariah (LKS) perlu merespons kebutuhan tersebut dalam berbagai produknya melalui akad pengalihan utang. Agar akad tersebut dilaksanakan sesuai dengan Syariah Islam, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman, sebagai berikut.

Mengingat 

  1. Firman Allah

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawaban.” (Al-Maidah: 1).

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawaban.” (Al-Isra: 34). 

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275). 

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2). 

“Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275). 

  1. Hadis Nabi

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani).

“Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.” (Ibnu Majah, al-Daruquthni, dari Abu Sa’id al-Khudri).

  1. Kaidah Fikih: 

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 

“Kesulitan dapat menarik kemudahan.” 

“Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” 

“Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).”

Memperhatikan:

Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Rabu, 15 Rabiul Akhir 1423 H/26 Juni 2002.

Menetapkan Fatwa tentang Pengalihan Utang

Pertama: Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

  1. Pengalihan utang adalah pemindahan utang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah;
  2. Al-Qardh adalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati.
  3. Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (utang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian aset, yang ingin mengalihkan utangnya ke LKS.
  4. Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayan kreditnya.

 

Kedua: Ketentuan Akad

Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut:

Alternatif I:

  1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
  2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
  3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
  4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud alternatif I

Alternatif II:

  1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap aset tersebut.
  2. Bagian aset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian aset yang senilai dengan utang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
  3. LKS menjual secara murabahah bagian aset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
  4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II

Alternatif III:

  1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
  2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
  3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2.
  4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2.

Alternatif IV:

  1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (utang)-nya; dan dengan demikian, aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
  2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
  3. LKS menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik.
  4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Utang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV

Ketiga: Ketentuan Penutup

  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment