Pengamat nilai RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan sangat terburu-buru disahkan

Pengamat nilai RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan sangat terburu-buru disahkan

Batalkan RUU HIP, atau Umat Kepung DPR
Ruang rapat DPR RI. (Foto: Wartaekonomi.co.id)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan bagian dari reformasi struktural di bidang perpajakan di antaranya tentang pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan orang pribadi, PPh Badan, amnesti pajak, hingga penghapusan tarif pajak minimum.

Direktur Celios, Bhima Yudhistira Adinegara menyebut pengesahan RUU ini sangat tergesa-gesa. Namun di sisi lain ada urgensi jika tidak segera ada penerimaan pajak baru, kemungkinan tahun depan penerimaan pajaknya rendah.

“Di tahun 2020 rasio pajak dengan PDB hanya 8,35% dan di tahun ini kondisinya juga masih sulit. Kemudian pengesahan RUU ini dibuat karena jika tidak ada reformasi pajak, kondisi di tahun 2022 nantinya cukup berat,” ujar Bhima dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Radio Network, Kamis (7/10/21).

Di sisi lain, imbuh Bhima, seharusnya banyak pasal yang didiskusikan lebih dalam karena RUU ini sama seperti omnibus law di bidang perpajakan, tetapi terburu diimplementasikan.

“Misalnya, penerimaan pajak ini berlaku untuk kalangan menengah ke atas. Jika ditelaah lagi pasal-pasal HPP ini banyak sekali peraturan pajak baru justru yang kena adalah kelas menengah atau menengah ke bawah. Contoh ada PPN yang awalnya 10% menjadi 11% dan akan naik secara bertahap menjadi 12%,” jelas Bhima.

“Banyak kebijakan yang seharusnya dikaji terlebih dahulu dampaknya, jangan sampai maunya meningkatkan penerimaan pajak tetapi karena buru-buru hasilnya justru kontraproduktif bagi pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Bhima juga mempertanyakan apakah sudah ada kajian perhitungannya untuk masyarakat yang akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. Sosialisasi kepada masyarakat juga kurang.

Ada harmonisasi dan reformasi pajak dalam aturan ini, di antaranya penggunaan NIK di KTP akan dijadikan pengganti NPWP. Tujuannya agar ada integrasi dari data kependudukan dengan data pajak. Kekurangannya setiap penduduk yang baru lahir sudah punya NIK otomatis sudah wajib pajak.

Reformasi pajak yang menjadi berdebatan adalah tentang pajak pertambahan nilai. Sejak tahun 1983 PPN bahan makanan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, sekolah, kesehatan dan jasa lainnya menjadi pengecualian terkenanya pajak. Tetapi di RUU HPP yang sekarang itu semua dikenakan pajak.

“Jadi gak bisa kita mengeklaim semua di HPP ini punya keberpihakan kepada masyarakat dan mereduksi ketimpangan, mana yang berpihak dan mana yang tidak berpihak itu tidak disebutkan secara gamblang kepada publik oleh Ibu Sri Mulyani,” tegas Bhima.

Kontributor: Zulnia Azzahra
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment