Penjara Itu Bernama Sekolah

Penjara Itu Bernama Sekolah

Kini, Penjara Itu Bernama Sekolah

Suaramuslim.net – Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sekolah sebagai sebuah lembaga atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar serta menjadi tempat memberi dan menerima pelajaran sesuai dengan tingkatannya (sekolah dasar, sekolah lanjutan, dan sekolah tinggi).

Sekolah menjadi salah satu lembaga pendidikan penting sebagai konsekuensi dari sibuknya orang tua terhadap pekerjaan atau kegiatan masing-masing. Sehingga, yang semula keluarga menjadi tempat pendidikan utama mengalihkan sebagian fungsinya kepada suatu lembaga yang disebut sekolah.

Peran utama orang tua sebagai pendidik sejati terpaksa digantikan dan diserahkan kepada tenaga pendidik (guru) sebagai pendidik profesi. Ini artinya sekolah akan menjadi rumah kedua bagi anak-anak dalam mendapatkan pendidikannya. Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai Taman Siswa. Anak merasakan kenyamanan ketika belajar, anak bisa tumbuh dan berkembang dengan perasaan yang nyaman. Sekolah menjadi rumah bagi mereka.

Makna itu kemudian lambat laun berubah, sekolah tak lagi ramah, ketika sekolah hanya dinisbahkan kepada mereka yang baik-baik saja. Sekolah kita kemudian memilih di tangan para algojo yang bernama guru dan kepala sekolah. Atas nama kepentingan terbaik sekolah serta atas nama ketertiban sekolah, lalu disusunlah sederet kata-kata yang memuat aturan hal yang boleh dan tidak dilakukan oleh siswa.

Siswa tumbuh dalam bingkai yang ditakdirkan oleh penguasa sekolah tanpa bisa menyela. Siswa tertawan oleh kuasa para penjaga garda yang menentukan benar dan salah. Siswa tak kuasa dan tak berdaya. Pasrah dalam kuasa sekolah.

Taman yang indah dan nyaman yang disemai oleh Ki Hajar Dewantara itu kini telah sirna, terjamah oleh kuasa serakah sekolah. Pendidikan yang sejatinya memberi ruang merdeka bagi tumbuhnya jiwa, kini tak lagi ada.

Anak-anak itu dibatasi oleh angka-angka dan kungkungan moral semu para sipir yang bernama guru. Guru yang sejatinya digugu lan ditiru, kini telah kehilangan makna.

Guruku… Kalian adalah pahlawanku, kalian adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pengabdianmu yang tulus kini telah diubah oleh tangan-tangan kuasa. Kalian dipaksa dijauhkan dari kami muridmu. Engkau telah fana dalam kepekaan menelaah. Padahal sejatinya ditanganmulah kami para muridmu berharap, kelak kami bisa tumbuh menjadi jiwa merdeka.

Sekolahku telah menjadi penjara…

Sekolahku tak mampu lagi menjadi tempat yang nyaman dan peduli, sekolahku tak mampu lagi memahami apa yang aku butuhkan dalam belajar, sekolahku terlalu egois, karena sekolah berada dalam genggaman mereka yang tak pernah mengerti apa yang terbaik bagi aku dan teman-temanku.

Kalau sudah begini, mungkinkah aku harus berhenti sekolah dan memulai belajar?

Dalam Al-Qur’an (S. 31: 12-15) yang artinya: “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami Perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua-nya. lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Pendidikan yang baik dan membebaskan itu adalah pendidikan yang mampu membangun ruang dialog dan merdeka dalam bersikap, sehingga siapapun yang terlibat, terikat dengan saling memahami demi kepentingan terbaik bersama.

Kini aku terdiam dan berharap agar kelak rumahku, surgaku, bisa kuubah menjadi bait-bait guruku. Malaikatku… Sekolahku… Rumahku… Sekolahku…. Surgaku.

Oleh: M. Isa Ansori
*Surabaya, 6 Februari 2018
*Pengajar di STT Malang, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Jatim, Anggota Dewan Pendidikan Jatim dan Penulis Buku Berhentilah Sekolah, Mulailah Belajar.

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment