Suaramuslim.net – Tidak ada satupun organisasi yang terbebas dari konflik. Konflik akan selalu terjadi karena perbedaan (diversity) adalah sebuah keniscayaan. Bila tidak ada konflik sesama rekan kerja, maka konflik akan terjadi antara pimpinan-bawahan, atau antar divisi dan seterusnya. Beberapa kasus di sholat jama’ah menunjukkan perlunya pemahaman dan toleransi dalam menyelesaikan konflik.
-
Kisah perbedaan para sahabat
Dari kisah yang diambil dalam harian Republika (Bastoni, 2011)
“Rasulullah saw segera memberikan komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan sholat ashar kecuali di Bani Quraizhah,” ujar beliau menutup instruksinya.
Rasulullah saw menunjuk Ali bin Abi Thalib ra di depan barisan dengan membawa bendera perang. Informasi yang diberikan malaikat Jibril benar. Ketika Ali bin Abi Thalib ra dan pasukannya hampir mendekati benteng-benteng Bani Quraizhah, mereka mendengar orang-orang Yahudi itu mencaci maki Rasulullah saw.
Rasulullah saw berangkat menyusul bersama kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama Sumur Anna. Sebagian kaum Muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah. Ketika waktu ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan.
Saat itu terjadi perbedaan pendapat. Mereka ingat dengan pesan Nabi saw. yang berbunyi, “Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan sholat ashar kecuali di Bani Quraizhah.”
Sebagian dari pasukan kaum Muslimin tidak melaksanakan sholat ashar. Bahkan sebagian riwayat mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan sholat ashar setelah isya’ di perkampungan Bani Quraizhah.
Namun sebagian lain melaksanakan sholat ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi yang mengatakan, “Jangan sekali-kali mengerjakan sholat ashar kecuali di Bani Quraizhah,” dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani Quraizhah sehingga dapat melaksanakan sholat ashar di tempat itu.
Ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah saw., beliau tidak mempermasalahkannya. Beliau mendiamkan dan tidak menyalahkan salah satu dari dua pendapat itu.
-
Perbedaan para ahli madzhab
Dari kisah yang ditulis dalam kitab at-Tibyân oleh Hadratus Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari:
“Suatu ketika Imam Syafi’i berziarah ke kuburan Abu Hanifah. Tak seperti peziarah pada umumnya, Imam Syafi’i rela menginap di area makam hingga tujuh hari. Selama tinggal di area makam tersebut, Imam Syafi’i tak henti-hentinya membaca Alqur’an. Tiap kali khatam, ia selalu menghadiahkan pahala membaca Alqur’an itu kepada Imam Abu Hanifah. Yang unik tentu saja adalah tata cara sholat Imam Syafi’i yang lain dari biasanya. Pengarang kitab induk ushul fiqh Ar Risaalah ini tak membaca qunut tiap sholat shubuh selama mukim di qubbah makam Abu Hanifah. Padahal dalam madzhab syafi’i, qunut hukumnya sunnah ab’adl (kalau lupa/tertinggal disunatkan sujud sahwi). Hal ini didasarkan pada hadits “Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkan qunut shubuh sampai beliau berpisah dari dunia (wafat)” (HR. Ahmad dan Abdur Raziq).
Mengapa? “Karena Imam Abu Hanifah menolak kesunnahan membaca qunut dalam sholat shubuh. Saya tak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau”.
Dalam kisah yang lain,
“Suatu hari, Imam Syafi’i berkunjung dan menginap di rumah Imam Malik. Saling berkunjung dan menginap sudah menjadi kebiasaan antara keduanya. Imam Syafi’i diminta gurunya menjadi imam saat melaksanakan sholat shubuh. Karena ingin menghormati gurunya, Imam Syafi’i tak membaca doa qunut dalam sholat berjama’ah itu. Begitupun sebaliknya. Di lain hari, Imam Malik menginap di kediaman Imam Syafi’i. Saat shubuh, mereka melaksanakan sholat shubuh berjama’ah, Imam Syafi’i meminta gurunya menjadi imam sholat. Dengan alasan yang sama, Imam Malik pun membaca doa qunut”.
Dari permasalahan yang terjadi, terlihat bahwa bagi mereka yang paham bahwa perbedaan hanyalah berkaitan dengan tafsiran terhadap suatu hukum, maka konflik dapat diselesaikan dengan upaya saling memahami pendapat dan dasar argumentasi masing-masing, setelah itu aplikasinya dikembalikan kepada diri masing-masing.
Brainstorming dalam sebuah organisasi penting dilakukan untuk mempertemukan dan mendiskusikan perbedaan yang terjadi. Masing-masing pihak diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya, untuk didengar, dicerna dan dielaborasi pihak lainnya.
Untuk pembelajaran dari kisah pertama, maka butuh pihak ketiga untuk menjadi pengambil keputusan atas pendapat mana yang akan digunakan. Orang tersebut haruslah pihak yang mampu menjadi mediator dan memang dipercaya oleh kedua belah pihak, serta memiliki kompetensi dan ilmu yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
Adapun dari kisah kedua, dibutuhkan kedewasaan dari masing-masing pihak untuk saling memahami dan menghormati pendapat pihak lain. Organisasi dan perkumpulan yang sering konflik, menunjukkan kedewasaan anggotanya masih rendah.
Dengan demikian, penyelesaian konflik, berdasarkan permasalahan yang terjadi dalam masalah sholat jama’ah, dapat diselesaikan secara vertikal (hadirnya pimpinan) maupun horizontal (kedewasaan anggota untuk saling berusaha memahami).
Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*
*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya