Perangkap istilah growth, sustainable growth dan green

Perangkap istilah growth, sustainable growth dan green

Wakaf Era 4.0
17 Sustainable Development Goals. (Foto: international.gc.ca)

Suaramuslim.net – Pada apa pun atau siapa pun, ketika kita berbicara growth (pertumbuhan), entah sekadar bersentuhan dan apalagi menggunakannya sebagai sandaran berpikir, kita dihanyutkan pada alam bawah sadar bahwa:

Pertumbuhan itu tidak berbicara pada siapa yang berkontribusi dan juga pada siapa akan didistribusikan, melainkan hanya berbicara seberapa besar angka-angka itu bergerak, tidak penting siapa sebenarnya kontributor yang berperan dan kepada siapa pertumbuhan itu didistribusikan.

Tanpa sadar ketika kita berbicara growth, kita sudah mengakui bahwa keadilan dalam pengertian “kesejahteraan bersama” itu tidak penting!

Kita bisa terhentak lebih dalam lagi, jika (dengan kesadaran) berbicara soal pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth).

Jika “pertumbuhan” saja, sejatinya sudah merupakan terminologi pelalaian, yang mengajak kita untuk tidak berbicara keadilan, maka sustainable growth merupakan perangkap kelalaian kedua, untuk kita menyetujui agar melanjutkan ketidakadilan dalam sesuatu yang dinamakan pertumbuhan.

Saya ingin mencandai siapa pun atau jika perlu mengajak berpikir dengan sudut pandang yang lain, atau barangkali sekadar berdiskusi dengan kopi panas yang lebih tajam aromanya.

Bagaimana jika kemudian kita mendengar sustainable development?

Jika ukuran pembangunan yang kita gunakan adalah growth, maka boleh juga atau sah juga, jika pada akhirnya sustainable development diterjemahkan dalam sudut pandang yang lain sebagai “pembangunan yang berkelanjutan dalam ketidakadilan.”

Kita digulung-gulung oleh selimut istilah dan terminologi, entah karena naif atau terjebak pada kuasa pengetahuan yang memaksa, kita “dikeloni” oleh definisi syahwat yang dibuat oleh sekelompok orang di muka bumi ini. Kita mau saja tidur bersamanya tanpa bertanya, “Apakah aku berdosa atau tidak? Telah tidur bersamanya, yang sejatinya  tidak begitu aku kenal.”

Libido memang membuat kita tak banyak bertanya, apalagi jika libido ditambahi materialisme yang menjanjikan, sempurnalah ia sebagai sebuah power.

Sepanjang hayat, kita akan disembunyikan dari apa pun, kecuali kita terjaga dari tidur yang melenakan. Bahkan kita mungkin tak menyangka, bahwa tidur terpanjang adalah pada kasur ilmu yang kita gunakan.

Bukan cuma pada tumbuh dan berkelanjutan yang membuat kita hanyut pada kesan naturalisme yang indah. Saat ini kita juga ditawari oleh apa yang bisa kita anggap sebagai kehayatan, dia berwujud dalam simbol warna yang paling teduh dalam peradaban manusia, dia adalah green. Apa-apa menjadi dihijaukan. Dan dengan hijau kita diajak bisa berdamai dengan siapa pun.

Apalagi? Apa maunya green itu?

Itu yang menempel dan mengusik nurani, jika kita memang terjaga! Saya teringat pada moral sentiment yang disampaikan oleh para Smithian di rumah neo klasiknya:

“… Saya tak pernah melihat kebaikan orang yang telah memberi segelas air ketika saya kehausan dalam perjalanan, tetapi saya akan bertanya dalam hati, keuntungan apa yang dia dapat dengan memberi saya segelas air?”

Bendera hijau telah dikibarkan, tentu ada yang senang, tetapi boleh jadi kita juga bertanya. Mengapa bendera itu dikibarkan, seolah menjadi simbol kemenangan, bahwa kita harus bersikap sempurna untuk memberi penghormatan.

Saya kagum kepada para pencipta istilah-istilah, diksi-diksi simbolik dan atau terminologi saintifik itu. Saya teringat pada Sidney Keyes seorang pujangga Inggris, ia menulis prosa lirik yang seharusnya mencubit kesadaran kita,

“The beautiful words make us fall asleep, treated to stupid dreams, and in the next morning we tell stories about sweet dreams.”

Kata-kata memang jadi instrumen tersendiri dalam kehidupan kita. Bahkan ia telah memasuki ruang sains, yang disebut semantik. Tetapi sayang, orang tidak melihat atau tidak sadar bahwa kata-kata adalah senjata tajam yang bisa membunuh siapa pun. Dia seperti pedang, yang dalam ilmu perang klasik diingatkan, “yang paling mudah terluka oleh pedang, dia yang menggunakan pedang itu sendiri.”

Kita berjalan dalam kehidupan dan konon katanya kita ini pembelajar!

Padahal jangan-jangan kita sedang dalam kantuk berat, atau bahkan sesungguhnya kita sedang tertidur?

 

Catatan Kuliah Sabtu, State and Business
17 Oktober 2020
Yudha Heryawan Asnawi
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment