Suaramuslim.net – Kala menempuh mata Kuliah “Sejarah Peradaban Islam”, dinyatakan Islam yang berkembang di Nusantara berasal dari Gujarat, Arab dan Persia. Ditinjau dari segi waktu, sejarawan Muslim seperti Buya Hamka berpendapat, Islam sudah hadir sejak abad ke 7 M. Sementara Orientalis menyatakan Islam hadir pada abad ke 13 M. Mereka menyatakan penyebarnya adalah pedagang Gujarat. Teori Gujarat dicetuskan oleh Orientalis ternama, Dr Snouck Hurgronje.
Ada anak didik yang melontarkan pertanyaan, “Manakah yang benar, disebarkan oleh Pedagang atau Mubaligh yang juga anggota tarekat sufi?” Dr Wan Jamaluddin, alumni Saint Petersburg State University Rusia, menegaskan dalam perkuliahan Pascasarjana UIN malang (2011), “Kehadiran Islam di Nusantara pada periode abad 7-12 Masehi dibawa dan disebarluaskan oleh pedagang. Adapun pada abad 13 hingga abad 15 Masehi Islam disebarluaskan oleh para sufi”.
Persoalan penyebar Islam di nusantara tidak bisa melupakan jasa walisongo. Dewan mubaligh atau walisongo utusan Sultan Muhammad I sebagian besar dari Timur Tengah. Dalam program “Jejak Islam” di TV One (15 Juli 2015) dewan muballigh tadi ke tanah jawa bukan hanya membawa risalah Islam, tetapi juga membawa desain tata kota. Tata kota di negeri negeri Islam seperti Maroko, selalu ada 4 komponen: masjid, pasar, alun alun dan pusat pemerintahan. Dengan 4 komponen ini, dakwah semakin mudah dan peradaban Islam makin bersemi.
Dakwah walisongo tidak sepi dari rintangan. Terutama rintangan yang berasal dari penyebar ajaran manunggaling kawula gusti yakni Siti Jenar. Singkat cerita Siti Jenar dieksekusi mati. Agus sunyoto dalam Atlas Walisongo (Pustaka Imania, 2012) menyatakan “Berbagai kontroversi tentang ajaran maupun di mana dan bagaimana Siti Jenar dieksekusi, menjadikan letak kuburannya tidak diketahui dengan pasti. Sebagian menyatakan letak makam Siti Jenar di Cirebon. Yang lain menyatakan di Mantingan, Jawa tengah, dan ada pula yang bilang di Jepara. Bahkan, belakangan ada yg menyatakan di Tuban”.
Selain walisongo, Laksamana Cheng Ho beserta awak kapalnya ikut andil dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Dijelaskan dalam program “Islam Nusantara” di Kompas TV, “Saat mengunjungi Nusantara, beliau melakukan dakwah dengan cara damai. Misalnya selalu mencontohkan dengan perbuatan sehari-hari. Jadi, syariat Islam dipraktikkan langsung dalam bentuk amalan ibadah sehari-hari.”
Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, Cheng Ho mempunyai seorang sahabat bernama Kiai Juru Mudi. Konon sahabatnya ini diyakini menetap di Semarang hingga akhir hayatnya. Koran Republika, “Buang Sauh di Kali Garang” (edisi 18 Juni 2012) menyebut kiai Juru Mudi punya nama asli Ong King Hong. Seperti Cheng Ho, beliau juga melakukan dakwah kepada penduduk pribumi dan orang Cina yang menjadi pengikutnya. Kiai Juru Mudi wafat di usia 87 tahun dan jenazahnya dimakamkan secara Islam.
Kapankah Islam menjadi mayoritas? Pada abad 17 Masehi, Islam telah menjelma sebagai “mayoritas” di nusantara. Prof. Nasarudin Umar dalam artikelnya yang dimuat di laman rmol.id (13 Februari 2018) menyebut pengaruh keislaman Kerajaan Mataram di penghujung abad ke-16, yang memerintah Jawa Tengah kemudian serta-merta menaklukkan kerajaan-kerajaan pesisir yang umumnya pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu. Seabad kemudian, pertengahan abad ke-17, agama Islam berhasil menguasai hampir seluruh wilayah nusantara, khususnya bagian barat.
Sering kita mendengar Islam adalah agama mayoritas. Entah berapa persentasenya. Pemeluk Islam terbanyak terpusat di Indonesia bagian barat seperti Sumatera, Jawa dan Madura. Sementara di bagian Timur, Maluku dan Irian Jaya (kini Papua), dulunya mayoritas Islam. Tapi karena dimurtadkan penjajah, maka jumlah pemeluk Islam merosot dratis sehingga Islam di sana menjadi minoritas.
Merujuk pada laman wikipedia, Islamisasi di Indonesia bagian timur kembali dilakukan Pak harto melalui program transmigrasi. Program yang berjalan selama 3 dekade ini membuat populasi Islam di sana meningkat. Khusus di Irian Jaya atau yang kini berubah nama menjadi Papua, Islamisasi dilakukan Ustaz Fadlan Garamatan. Sabun dan shampo dijadikan modal awal dalam mengenalkan agama Islam di Papua.
Sebelum mengakhiri artikel ini, perjalanan Islamisasi di negeri kita masih digalakkan lewat madrasah, pondok pesantren, perda, undang-undang, media film, penerbitan buku, perbankan syariah, fesyen hingga industri halal. Bila di awal masuk ke nusantara, Islamisasi dilakukan secara kultural, maka kini dilakukan melalui berbagai lini. Wallahu a’lam.