Suaramuslim.net – Munculnya Perppu Ormas di tengah hukum Indonesia ternyata hanya untuk kepentingan pemerintah saja. Kehadiran perppu ormas, dinilai sebagai alat untuk memberangus suara-suara yang mengkritisi berjalannya pemerintahan, bahkan dinilai perppu anti Islam.
Dua pekan terakhir ini, umat Islam dihadapkan dengan isu besar dalam ilmu hukum yaitu Perppu No.2/2017 tentang Perubahan UU No.17/2013 tentang Keormasan. Perubahan perppu tersebut dianggap memiliki efek yang masif dan mendesak. Sebab, Perppu yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 10 Juli itu telah menunjukan taringnya.
Perppu tersebut dinilai memiliki kepentingan yang substansial. Pemerintah akan dengan mudahnya membubarkan suatu ormas yang di nilai bertentangan dengan jalannya politik kekuasaan. Dalam perppu tersebut, aturan proses pengadilan dalam pembubaran suatu ormas dihilangkan. Sehingga dengan perppu terbaru, pemerintah dapat dengan sewenang-wenang membubarkan ormas yang tak pro pemerintah tanpa prosedural yang rumit.
Menurut Pakar Hukum UNPAD, Dr. Atip Latifatul Hayat, SH, LLM, Ph, dalam kasus Perppu tentang Keormasan ini, belum ada kegentingan yang memaksa yang mendorong Presiden untuk mengeluarkan Perppu tersebut. Sudah sedemikian daruratkah negara oleh kehadiran ormas yang dinilai oleh pemerintah sebagai ancaman terhadap ideologi negara? “Menurut saya, sama sekali tidak! Tapi, kembali kepada pertimbangan subyektif presiden yang beranggapan bahwa idelogi negara terancam,” jelas Dr. Atip, pada persis.or.id.
Menurutnya, ketika hukum dianggap sebagai penghalang dan bukannya sebagai rambu-rambu dalam bertindak dan kemudian dihapuskan lewat perppu itu adalah sebuah kesalahan. “Apabila penerbitan Perppu ini tidak didasari dengan pertimbangan yang objektif, maka Perppu itu tidak lain adalah bentuk Constitutional Dictatorship (kediktatoran berbungkus konstitusi, red),” jelasnya.
Muzzammil Yusuf pun berkomentar mengenai kecacatan perppu ormas, “Pertama, Perppu ini berpotensi membungkam ormas yang kritis terhadap kebijakan penyelenggara negara/pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,” ujar Muzzamil selaku Wakil Ketua Komisi II DPR RI. Ia pun mengaskan, perppu ini berpotensi kuat mengembalikan pemerintah Indonesia menjadi rezim otoriter.
Misal, kata Muzzammil, jika pemerintah, sebagai penyelenggara negara menaikan harga bahan pokok atau BBM, hakim memutus perkara yang tidak adil, gubernur menggusur semena-mena warganya kemudian ormas menyampaikan perlawanan melalui pernyataan sikap atau aspirasi sehingga menimbulkan rasa kebencian publik kepada penyelenggara negara maka ormas tersebut dapat dibubarkan dan dipidanakan.
“Jika ini terjadi maka pemerintah telah melanggar kebebasan berekspresi ormas yang dilindungi konstitusi,” ujarnya.
Kedua, kata Muzzammil, pertimbangan pemerintah mengeluarkan Perppu karena mendesak yang disebabkan adanya aturan yang tidak komprehensif sehingga terjadi kekosongan hukum adalah tidak berdasar. “Faktanya tidak terjadi kekosongan hukum. Malah UU No. 17 Tahun 2013 telah mengatur mekanisme sanksi pelanggaran terhadap Ormas secara jelas dan komprehensif,” paparnya
Ia menilai bahwa penerbitan suatu Perppu seringkali memancing kontroversi, karena penerbitannya didasarkan kepada pertimbangan subjektif Presiden saja.
17 Ormas Ambil Tindakan Tolak Perppu Terbaru
Sebanyak lebih dari 17 ormas Islam bersatu menyatakan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas). Dalam rangka itu, Forum Koordinasi Ormas untuk Hak Berserikat dan Keadilan (Forum Ormas Penolak Perppu) yang mereka bentuk, akan menempuh jalur hukum.
Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi dan Konsolidasi Lintas Ormas dan Lembaga Dakwah yang tidak setuju dengan Perppu Ormas di Aula AQL, Tebet, Jakarta Selatan, pada (14/07). Dr. Jeje Zaenudin selaku koordinator forum mengungkapkan bahwa, mereka akan melakukan permohonan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi atas Perppu Ormas. “Mengingat Perppu itu sudah berlaku sejak ditandatangani dan diundangkannya, maka pengajuan permohonan JR ke MK harus dilakukan secepatnya, baik secara per-ormas maupun gabungan ormas, sebelum Perppu itu memakan korban pembubaran ormas tertentu,” ujar Jeje pada hidayatullah.com.
“Perlu adanya tim atau forum rapat yang fokus dan terus mengkoordinasikan langkah-langkah penolakan dari berbagai kalangan, agar menjadi gerakan perlawanan hukum yang efektif sampai Perppu benar-benar dibatalkan,” ujar Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) ini.
Tindakan yang diambil, sudah berdasarkan kesepakatan rapat yang dihadiri berbagai utusan pimpinan ormas dan lembaga dakwah. Seperti, Dewan Dakwah, Persis, HTI, IKADI, Hidayatullah, Majelis Mujahidin, KMJ, BKSPPI Bogor, dan Pimpinan Pesantren Asy-Syafiiyah Jakarta. Juga didukung oleh laporan penolakan yang sama dari PUI, Al-Washliyah, Mathlaul Anwar, Al-Irsyad, Parmusi, SI, dan lain-lain.
Perppu Ormas dinilai oleh banyak kalangan sebagai “Perppu anti Islam”. Perppu Ormas juga dinilai berpotensi mengekang kebebasan berserikat dan berpendapat. (muf/smn)