Daniel Mohammad Rosyid
Bahaya neokolonialisme dan imperialisme sudah diingatkan oleh Bung Karno sebelum dijatuhkan secara tragis justru oleh kekuatan nekolim itu. Kini peringatan itu semakin menjadi kenyataan di banyak negara yg dulu dimerdekakan di atas rumah negara-bangsa, termasuk Indonesia.
Melalui jargon investasi, globalisasi dan pasar bebas, hampir semua kekayaan alam kita saat ini sudah dikuasai asing.
Dulu penjajahan dilakukan dengan menghadirkan penjajah beserta seluruh perangkat kerasnya. Sekarang penjajahan itu bisa dilakukan tanpa menghadirkan tentara dan penjajah, namun cukup dilakukan secara remotely controlled dengan menghadirkan seperangkat instrumen.
Sang Penjajah cukup duduk-duduk manis di rumah sambil tekan tombol “remote”. Instrumen itu berupa regulasi internasional dan nasional, sekaligus kelembagaannya.
Berbagai perjanjian internasional dilakukan terutama perjanjian perdagangan dan keuangan; bukan dengan semangat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Tapi antara majikan dan pesuruh. Dibentuklah WTO dan IMF.
Melalui perjanjian Bretton Woods 1944 dibentuklah IMF yg konstitusinya menghalalkan uang kertas dan mengharamkan dinar. Padahal selama kekhalifahan Islam, perdagangan hanya bisa dilakukan dengan dinar, uang kertas dilarang.
Namun sejak 1974, Nixon secara sepihak menyatakan tidak lagi harus memenuhi seluruh perjanjian Bretton Woods. Pencetakan uang kertas tidak perlu lagi dikaitkan dengan stock emas sebagai pondasi uang kertas itu.
Melihat USD akan segera kehilangan kredibilitas, Henry Kissinger Menlu AS saat itu memperoleh persetujuan Raja Faisal dari Kerajaan Saudi Arabia, untuk mengaitkan US Dollar dengan setiap transaksi minyak bumi: pembelian minyak bumi hanya bisa dilakukan dengan US Dollar. Lahirlah Petrodollar.
Secara sederhana berarti AS boleh mencetak US Dollar out of thin air, sementara untuk setiap lembar USD100 kita harus membayarnya dengan ekspor 1 ton mangga atau 1 m3 minyak.
Melalui model perdagangan ini negara penghasil produk pertanian dan pertambangan seperti Indonesia dimiskinkan, lingkungan hidupnya dihancurkan, dan mentalitas manusianya dirusak secara terus menerus hingga saat ini.
Harus dikatakan bahwa, “kemajuan” negara-negara “dunia pertama” bukan karena mereka lebih cerdas, lebih produktif dan lebih jujur dari negara-negara “dunia ketiga”, tapi dilakukan dengan penjarahan sistemik melalui transaksi ribawi ini.
Bung Karno, JF Kennedy, Charles de Gaulle, lalu Saddam Hussein dan Muamar Kaddafy dijatuhkan atau dibunuh karena tahu dan tidak mau negara-negara mereka dijarah seperti itu.
Sementara itu, agar proses penjajahan secara remotely controlled ini bisa berjalanan secara berkelanjutan sustained colonialism, harus diciptakan juga sebuah masyarakat baru dengan satu cara berpikir “inlander” melalui sistem persekolahan school system.
Sistem persekolahan yang dikenalkan di Hindia Belanda sejak Politik Etis di akhir abad 19 tidak pernah dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi untuk menumbuhkan jiwa merdeka seperti kata Ki Hadjar Dewantara.
Rancangan dasar persekolahan yang kita kita kenal sejak Orde Baru hingga saat ini tidak banyak berubah sejak persekolahan diperkenalkan: menciptakan buruh dan pegawai.
Melalui sistem persekolahan itu, taruhan besar atas nasib negara-negara muslim di dunia, termasuk Indonesia, dipindah dari masjid ke sekolah.
Guru adalah khotib-khotib baru, sedang seperti dikatakan Ali Syariati, kitab-kitab fiqh dibawa dari kuburan ke kota, sedangkan al Qur’an dibacakan untuk orang-orang yang mati.
Korban instrumen nekolim berupa persekolahan itu tidak hanya masjid, tapi juga keluarga. Keluarga dijadikan unit konsumtif (non-edukatif) dalam model ekonomi makro.
Tugas produktif keluarga digeser ke pabrik, sedangkan tugas edukatifnya dirampas persekolahan. Melalui persekolahan itu warga negara dipersiapkan mentalnya untuk kompeten sebagai buruh.
* Penulis adalah Guru Besar ITS Surabaya
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net