JAKARTA (Suaramuslim.net) – Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono menilai faktor utama yang menyebabkan Indonesia bertranformasi menjadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia adalah perubahan budaya pangan.
“Beras secara tradisional adalah pangan utama masyarakat Indonesia, yang dikukuhkan dengan swasembada beras pada 1980-an. Sejak diperkenalkan pada 1960-an, ketergantungan pada pangan berbasis gandum dengan cepat melonjak,” kata Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/07/22).
Dengan harga yang murah, gandum yang merupakan bahan baku terigu dan menjadi komponen utama makanan olahan seperti mie instan, roti, biskuit, aneka kue hingga makanan gorengan, segera mendapat popularitas yang tinggi.
Menurut Yusuf, ketergantungan Indonesia pada gandum sangat mengkhawatirkan karena gandum sepenuhnya diimpor dan Indonesia kini, sejak 2019, telah bertransformasi menjadi importir gandum terbesar di dunia.
“Pada 1970-an, impor gandum hanya di kisaran 500 ribu ton, kemudian melonjak di kisaran 3 juta ton pada 1990-an, dan kini telah menembus 11 juta ton,” tutur Yusuf.
Krisis pangan global 2008 memberi peringatan keras atas ketergantungan Indonesia yang sangat tinggi terhadap impor gandum. Hanya dipicu oleh jatuhnya produksi gandum global sebesar 3,9 persen, harga gandum melonjak sejak Mei 2007 dan berpuncak pada Februari 2008.
Dengan volume impor gandum di kisaran 4,5 juta ton pada 2008, harga gandum impor melonjak dari US$ 182 per ton pada 2006 menjadi US$ 439 per ton.
“Hal ini terulang pada krisis pangan global 2022, harga gandum melonjak hingga 40 persen, dari $ 377 per ton pada Desember 2021 menjadi $ 522 per ton pada Mei 2022,” ungkap Yusuf.
Selain karena perubahan budaya pangan, ketergantungan Indonesia yang tinggi pada impor gandum juga disumbang oleh perubahan produksi pakan ternak.
“Sejak 2016, terlihat pola yang konsisten yaitu jatuhnya impor jagung diikuti oleh lonjakan impor gandum. Bila pada 2015 impor gandum baru mencapai 7,4 juta ton, pada 2016 angkanya melonjak menjadi 10,5 juta ton. Di saat yang sama, impor jagung menurun drastis dari 3,3 juta ton menjadi hanya 1,1 juta ton,” ujar Yusuf.
Lonjakan impor gandum ini terjadi karena permintaan untuk pakan ternak. Perubahan tata niaga jagung dan mahalnya harga jagung, telah memaksa pabrik pakan ternak yang selama ini mengandalkan jagung untuk beralih ke gandum.
“Untuk menekan dampak negatif dari ketergantungan tinggi pada impor gandum, dibutuhkan rekayasa permintaan pangan melalui penganekaragaman pangan lokal dan gaya hidup sehat,” papar Yusuf.
Di era orde baru, atas nama swasembada, budaya pangan lokal yang sesuai dengan karakteristik genetika penduduk lokal dan daya dukung alam setempat, banyak diabaikan, dan kini nyaris hancur di era perdagangan bebas dan serbuan budaya pangan asing. Sebagai misal, pola pangan utama berbasis sagu, umbi-umbian dan jagung di Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan Nias telah lama berganti menjadi pola pangan berbasis beras, bahkan gandum.
“Intrusi budaya pangan asing berbasis gandum, kentang dan daging (werternization of diet), selain tidak sehat secara gizi, juga menggerus kemandirian pangan dan mengancam budaya pangan lokal,” tutup Yusuf.