Suaramuslim.net – Budayawan Betawi, Ridwan Sa’idi, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) 18 September 2018, menyampaikan statement menarik. Beliau menggambarkan Pilpres 2019 ke depan laksana pertandingan. Maka, harapan beliau, pertandingan ini semoga menjadi pertandingan menarik, mengurangi atau tidak mengeluarkan kata-kata kotor selama pertandingan. Intinya, pelajaran yang diambil dari pesan Babe Ridwan, tidak masalah berbeda dalam pilihan politik. Tapi, dalam berpolitik silakan bermain yang cantik; tak saling hina dan caci maki. Karena, kata-kata kotor, tuturnya, hanya akan merusak gelombang udara, mempengaruhi diri sendiri dan rezeki pun akan jauh.
Penulis buku Islam dan Nasionalisme Indonesia ini menyampaikan pengalamannya dengan M. Roem, Mantan Wakil Pimpinan Masyumi, yang menunjukkan tidak ada masalah dengan perbedaan politik. Baik sesama muslim (yang waktu itu memang partai Islam bukan hanya satu, seperti NU misalnya) maupun pemeluk agama lain.
Suatu hari, Ridwan mendapat ajakan dari M. Roem, “Ridwan nanti besok kamu datang, kamu duduk saja, gak boleh ngomong!”. Rasa penasaran pun menyeruak di dalam jiwanya. Rupanya, yang diundang saat itu adalah I.J. Kasimo dan Leimena (yang merupakan tokoh Kristen). Terjadilah obrolan hangat antar tokoh yang berbeda baik agama dan haluan politiknya itu. Dalam pertemuan tersebut, mereka terlihat menjaga kekerabatan, senda gurau dan lain sebagainya. Uniknya, perbedaan agama dan pilihan politik di antara tokoh-tokoh tersebut tidak sampai menghalangi hubungan pertemanan dan pergaulan di antara mereka.
Apa yang diceritakan oleh sejarawan Betawi itu, sangat relevan sekali dengan kondisi saat ini. Ketika anak bangsa hampir saja terpecah, saling caci, saling menyudutkan di media sosial, gara-gara perbedaan pilihan politik, maka harus segera diredam. Tokoh-tokoh bangsa Indonesia terdahulu sudah menunjukkan teladan yang baik.
Bukan hanya Roem, dalam perjalanan sejarah Indonesia, dari sosok M. Natsir pun terdapat contoh demikian yang perlu diteladani. Dalam majalah Tempo edisi khusus 20 Juli 2008 yang mengangkat tema “Natsir; Politik Santun di Antara Dua Rezim” disebutkan dengan sangat menarik bagaimana Natsir bisa menjalin pergaulan multikultural.
Kisah-kisah terkait pergaulan Natsir dengan orang yang berbeda haluan bisa dilihat pada halaman 88 dan 89. Dengan D.N. Aidit (Pimpinan PKI), Natsir secara ideologis sangat bertentangan, bahkan kata Yusril, dalam debat di parlemen, Natsir sering tak bisa menahan emosi ketika debat dengan Aidit. Kata Pak Natsir, rasanya ia ingin menghajar Aidit dengan kursi. Namun, itu hanya kekesalan wajar dan tak benar-benar dilampiaskan di dunia nyata. Karena setelah rapat usai, mereka terlihat bersahabat. Mereka berdua bahkan saling ngopi dan ngerumpi bareng mengenai keluarga masing-masing. Dan itu terjadi berkali-kali.
Dengan tokoh lain seperti I.J. Kasimo, F.S. Hariyadi (tokoh Katolik), J. Leimena, A.M. Tambunan (dari partai Kristen Indonesia), Natsir (Pimpinan Masyumi) juga berbeda secara ideologis dan pilihan politik. Namun, mereka tetap berkawan baik. Ketika Natsir mengajukan Mosi Integral dalam Sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat (3/4/1950), justru tokoh-tokoh non muslim tersebut mendukungnya.
Meski sudah tak terjun dalam dunia politik, menurut cerita Siti Mucliesah, pada waktu tahun baru, tetap mengirimkan bunga kepada Kasimo dan Leimena. Hal itu menunjukkan bahwa meski mereka ideologinya tak sehati, tapi tetap menjaga hubungan pertemanan. Cerita menarik lain adalah dari KH Isa Ansari (salah satu tokoh Masyumi).
Kiai ini dikabarkan sering mengajak Aidit dan Njoto makan sate setelah berdebat. Menurut cerita Adnan Buyung Nasution, Jika Aidit ke Sukabumi, ia menginap di rumah Isa Ansari. Tokoh Masyumi lain, seperti Prawoto Mangkusaswito, akrab dengan Kasimo. Bahkan kabarnya, Kasimo pernah membelikan rumah untuknya di Yogyakarta. Bahkan M. Roem, menurut penuturan Joesoef Isak, sering bertemu Oei Tjoe Tat (Tokoh Tionghoa dan bekas Menteri Kabinet Dwikora). Padahal pada era Demokrasi Terpimpin, secara idolologis dan haluan politik, mereka berseberangan.
Itulah di antara sekian contoh yang patut diteladani dalam menghadapi memanasnya perbedaan politik tajam seperti saat ini. Silakan bertanding ide, gagasan, program-program untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun jangan sekali menggunakan kekerasan atau cara-cara kotor yang mengorbankan persatuan dan kesatuan.
Sebagai penutup obrolan antara Roem dan Oei berikut bisa menjadi bahan renungan:
“Roem, kok bisa ya kita ini berhadapan dalam politik? Padahal kita toh enggak ada apa-apa.” Roem pun menjawab dengan berbisik, “Oei, kita kan sama dididik Belanda. Jadi, kita harus menghargai orang lain. Perbedaan pendapat itu biasa.” *
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net