Suaramuslim.net – Mengapa banyak pejabat terjerat korupsi? Rasanya semua berawal dari proses transaksi. Ketika maju menjadi legislatif atau menjadi kepala daerah harus gelontorkan banyak uang (politik biaya tinggi), maka semua pasti diperhitungkan berapa total pengeluarannya.
Maka ketika sudah duduk di kursi, yang dipikirkan adalah bagaimana cara mengembalikan modalnya cepat kembali. Jangan sampai impas, apalagi rugi, setidaknya ada untung.
Direktur Prajna Research Indonesia, Sofyan Herbowo menyampaikan bahwa untuk duduk di kursi DPR RI butuh dana sekitar 1-2 milyar. Itu dana sangat minimal sekali. Senada pendapat para politisi senior ketika saya sowan pamitan sambil minta arahan, selalu ditanya, “Pak Misbah serius? Mau menang atau sekadar penggembira? Sudah disiapkan dana berapa untuk pemenangan? Untuk jadi caleg DPR RI rata-rata 4-5M, paling minimal 3M lah”.
Di dunia politik, makna serius sepertinya selalu diukur dengan banyaknya fulus. Nah, ketika kemudian ditelisik salah satu instrumen penyedot dana terbesar, ternyata justru dana beli suara untuk calon pemilih.
Dengan kata lain ironi korupsi yang terjadi juga muncul dari sebuah putaran transaksi. Calon pemimpin membeli suara, rakyat menjual suara. Miris. Artinya pemenang pemilu sudah dapat diprediksi, yang punya banyak dana meskipun belum memiliki kelayakan, potensi menangnya lebih besar. Sedangkan bermodal kelayakan tapi tipis dana, justru peluangnya menipis. Istilah saya, popularitas plus isine tas baru jadi elektabilitas.
Hasilnya negeri kita hanya jadi sumber keroyokan, transaksi politik uang.
Untuk memotong siklus ini harus dimulai dari masyarakat itu sendiri. Caleg punya ambisi mendulang suara, segala cara dilakukan. Tapi rakyat harus punya ambisi menjadikan bangsa yang lebih bermartabat. Sehingga pilihan bukan berdasar kepada berapa yang diterima, tapi berdasarkan kepada siapa harus dititipkan nasib bangsa yang lagi banyak masalah ini.
Mungkin politik uang akan terus terjadi, tapi ketika masyarakat menolak, atau menerima tapi enggan memilih, ini akan menjadi pelajaran penting bagi pelaku politik, terutama di tahun 2019 hingga setelahnya. Jangan sampai gara-gara 100 ribu beban listrik setiap bulan bertambah 100 ribu, beban BBM setiap bulan berlipat ganda, belanja keperluan sehari-hari naik tak terkendali. Dapat ayam hilang sapi.
Jika ada yang berpikir, “Ah sama saja, semua tidak ada yang berubah”. Ya, karena hampir semua masyarakat berpikir demikian. Cobalah kita mulai dengan semangat, “Tidak dapat seratus ribu demi mengubah bangsa”. “Perubahan itu dimulai dari saya”. Saya sangat optimis kalau jutaan orang bersikap demikian, Indonesia bisa mencapai pada fase perubahan itu
Oleh sebab itu, setiap sosialisasi saya menyadarkan tentang itu. Ini adalah persoalan amanat. Bukan persoalan jual beli suara. Ketika saya memutuskan untuk melangkah maju menjadi calon legislatif melalui partai dakwah, saya meyakini masih banyak masyarakat yang menginginkan perubahan itu.
Saya berharap mahar politik dari masyarakat kepada saya adalah amanat, bukan yang lain.
Saatnya memilih dengan hati.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net