Suaramuslim.net – Ketika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dibacakan, setelah gugatan yang diajukan pemohon ditolak, dibayangkan selesai pula persoalan pemilihan pemimpin. Namun polarisasi masyarakat, akibat adanya kecurangan, justru semakin tajam. Terbelahnya masyarakat dalam menyikapi presiden baru masih berlangsung. Presiden saat ini secara legal memang Jokowi tetapi yang terlegitimasi adalah Prabowo Subianto. Artinya, masyarakat masih mempersoalkan dan tidak mengindahkan putusan MK.
Hal ini tidak lepas dari persoalan moral, berupa adanya kecurangan, yang tak bisa diselesaikan oleh MK. MK yang dijadikan tumpuan dan tumpahan hati masyarakat untuk bisa melakukan terobosan hukum, ternyata justru kepanjangan tangan penguasa sehingga tak berhasil membuka kotak pandora akar kecurangan. Kecurangan yang demikian massif, dan sudah disodorkan berbagai bukti dan diperkuat saksi, namun justru dianggap sebagai narasi jahat.
Di mata publik, MK sudah diberi senjata untuk mengungkap kebenaran tetapi justru lengah dan berhasil tergiring opini yang menyatakan bahwa dirinya tak memiliki wewenang untuk mengadili kasus ini. Itulah akhir babak sandiwara panjang yang akan tercatat dalam sejarah bahwa pendekatan hukum murni, tanpa menggunakan pendekatan moral, hanya berimplikasi terbelahnya masyarakat yang sulit didamaikan.
Hilangnya Pendekatan Etis
Terbelahnya masyarakat dalam menyikapi pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT bisa menjadi indikasi kuat bahwa masyarakat akar bawah masih belum bisa menerima rekonsiliasi yang terkesan di permukaan. Masyarakat pendukung Prabowo melihat bahwa pertemuan dua pemimpin itu dianggap tidak mencerminkan aspirasi masyarakat pendukung Prabowo. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pertemuan itu dianggap sebagai kamuflase tanpa menyentuh akar persoalan yang selama ini dipersoalkan masyarakat.
Fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap rekonsiliasi di MRT tidak lepas dari putusan MK yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Masyarakat sudah menganggap bahwa MK tidak lagi dianggap sebagai mahkamah tertinggi dalam menegakkan moral dalam kehidupan bernegara. Kegagalan MK dalam membuka kotak pandora kecurangan, bukan hanya menggalaukan masyarakat, tetapi menguatkan bahwa kecurangan memang ada.
Bahkan episode yang dimainkan MK seolah menjawab adanya proposisi bahwa MK telah menjadi penjara bagi kubu Prabowo. Keraguan publik terhadap kinerja MK yang dianggap tidak bisa bekerja profesional juga terjawab. Memenangkan calon (Petahana) yang bermain curang bukan hanya menyisihkan calon yang kalah tetapi telah mengubur impian masyarakat untuk lahirnya pemimpin yang bisa memberikan harapan besar pada negerinya. Presiden yang saat ini dimenangkan, di mata masyarakat bukan hanya dianggap gagal tetapi telah menjadi musuh bersama masyarakat.
Anjuran legowo dalam menerima kekalahan sepertinya tidak disambut dengan baik. Yang muncul adanya sikap menolak dan mendelegitimasi Petahana. Berkali-kali masyarakat diminta bersabar dan menerima kekalahan sembari mengakui presiden terpilih dengan lapang dada. Alih-alih menerima kenyataan, masyarakat justru semakin kuat ketidakpercayaannya pada presiden yang dimenangkan ini. Ketika semakin diminta melupakan peristiwa-peristiwa selama Pilpres, berupa kecurangan, publik justru semakin yakin bahwa kecurangan telah dilegalkan.
Implikasi dari praktek kecurangan itu bisa dilihat bahwa presiden terpilih terlihat sedih. Yang terlihat gembira justru Prabowo. Dengan kata lain, orang yang memenangkan pertarungan bukannya berpesta gembira tetapi terlihat gunda gulana. Inilah efek yang dihasilkan dari presiden yang dimenangkan secara legalitas tetapi tidak memperoleh legitimasi dari rakyatnya secara penuh. Hilangnya pijakan etis yang seharusnya dijadikan landasan MK, benar-benar menjadi inti sulitnya rekonsiliasi. Tidak diindahkannya moral justice akan terus menerus membuat masyarakat terbelah dan sulit mengadakan rekonsiliasi yang sejati.
Polarisasi Masyarakat dan Gagalnya Mengamputasi Kecurangan
Terbelahnya masyarakat dalam melihat pertemuan dua pemimpin (Jokowi dan Prabowo) di MRT, tidak bisa dilepaskan dari gagalnya MK dalam menggunakan nalar etis ketika memutuskan perkara. Tidak adanya inovasi hokum, dianggap oleh masyarakat telah melahirkan putusan yang dianggap cacat. Sebagaimana seorang dokter yang tidak berhasil menemukan jenis penyakit yang sedang dihadapi. Seharusnya dokter melakukan terobosan baru untuk menemukan jenis penyakit ini, tentu dengan berbagai cara dan pendekatan untuk menemukan jalan keluarnya. Sangat tidak layak, bila dokter tanpa usaha dan upaya kemudian langsung meminta kepada pasien untuk pergi ke dukun karena dunia kedokteran tidak mampu.
Hal yang sama juga dialami oleh MK, dimana ketika mengalami kebuntuhan karena problem yang dihadapi adalah problem moral, berupa kecurangan, langsung menolak permohonan karena bukan wenenangnya, tanpa memberi solusi terbaaik. Seolah-olah MK menyarankan untuk tidak perlu datang kepada dirinya, dan justru menyarankan banyak berdoa karena dirinya tak berwenang memutuskannya.
Terbelahnya masyarakat dalam melihat rekonsiliasi Jokowi Prabowo tidak bisa dilepaskan problem moral, berupa kecurangan, yang belum terselesaikan. Ketidakadilan yang terjadi dalam Pilpres, berupa kecurangan massif, sistematis, dan terstruktur tidak berhasil diungkap. Implikasinya, rekonsiliasi Jokowi Prabowo yang terus diupayakan akan terus mengalami ganjalan, dan dalam jangka panjang akan berpengaruh padan realisasi program yang dicanangkan oleh pemerintah.
Disadari atau tidak, sejarah telah mencatat bahwa hilangnya pendekatan dan nalar etis dalam merespon persoalan moral akan membelah masyarakat. Pemilihan pemimpin yang meninggalkan jejak buruk, entah ketidakadilan atau kecurangan, akan membesarkan ketidakpercayaan pada masyarakat. Ketidakpercayaan masyarakat yang besar sangat mempengaruhi keberhasilan pemimpin dalam mewujudkan cita-cita pembangunan berupa tumbuhnya kesejahteraan dan tegaknya keadilan di tengah masyarakat.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net