Suaramuslim.net – Membuka pembahasan kita kali ini, mari simak firman Allah dalam Surah Al Furqon ayat 43:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”
Ayat tersebut menerangkan kepada kita, bahwa hawa nafsu yang berupa suatu kecenderungan hati kepada dorongan syahwat tanpa kendali. Seperti dorongan syahwat untuk berkuasa, menguasai yang bukan haknya. Begitu kuatnya hawa nafsu tersebut hingga seseorang menjadikannya sebagai tuhan.
Menjadikan jabatan sebagai tuhan, menjadikan kekayaan sebagai tuhan, menjadikan kelebihannya sebagai tuhan, menjadikan organisasinya sebagai tuhan dan lainnya dari syahwat negatif. Inilah yang dimaksud ayat di atas.
Allah kemudian memberikan jalan keluar agar hawa nafsu itu bisa ditekan supaya terkendali oleh syariat. Di antaranya adalah dengan perintah kewajiban puasa. Puasa adalah salah satu cara untuk menekan tidak terkendalinya hawa nafsu.
Sebagaimana diketahui definisi puasa seperti dijelaskan dalam Fiqih Al Manhaji karya Dr. Musthofa Al Bugho, puasa dalam bahasa Arab disebut “ash Shiyam” (الصيام) yang secara bahasa berarti “al imsaaku anisy syai’I” (الإمساك عن الشيئ) yakni menahan dari sesuatu baik perkataan ataupun makanan. Intinya adalah menahan diri dari makan dan minum serta hubungan suami istri semenjak Subuh sampai Maghrib.
Puasa itu menurut Ibn Katsir sebagai cara mempersempit jalannya setan. Di samping untuk mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Karena ketakwaan sebagai tujuan puasa itu akan tercapai jika inti puasa menahan diri dari berkenyang-kenyang itu dilakukan. Salah satu jalan masuk setan adalah melalui pintu nafsu dan syahwat. Puasa adalah terapi yang cocok untuk mempersempit jalan syetan lewat hawa nafsu itu.
Artinya dalam puasa, siang hari kita berlapar-lapar dan menahan diri dari melampiaskan syahwat kepada pasangan halal. Hal itu dalam rangka mempersempit jalan setan dalam diri manusia sehingga ada pelemahan untuk dapat menggoda manusia.
Sebagaimana diketahui, setan itu sudah melemah di bulan Ramadhan, dan tambah lemah lagi ketika pintu hawa nafsu yang biasa menjadi tempat masuknya mengalami penyempitan pula karena puasa.
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ ، فَضَيِّقُوا مَجَارِيَهُ بِالْجُوعِ ” ، ذَكَرَهُ فِي الْإِحْيَاءِ ، قَالَ الْعِرَاقِيُّ : مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَدُونَ قَوْلِهِ: فَضَيِّقُوا مَجَارِيَهُ بِالْجُوعِ
“Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
So, puasa yang bisa membuat sempit jalan masuknya setan kepada manusia adalah puasa dengan adab sebagai berikut;
1. Janganlah berlebihan dalam makan di malam hari di bulan Ramadhan. Karena hal itu membuat tidak tercapai inti dari puasa, yaitu berlapar-lapar di siang. Jangan balas dendam dalam berbuka, sehingga berkenyang-kenyang di malam hari. Ini akan membuat kembalinya kekuatan setan menggoda manusia.
Bukankah pola makan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan berubah?
Sebagaimana diketahui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar Ramadhan makannya sebanyak tiga waktu: futhur (sarapan), ghoda’ (makan siang) dan ‘asya’ (makan malam). Itupun Nabi Muhammad makannya selalu tidak sampai kenyang.
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”.
Ketika di bulan Ramadhan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pola waktu makannya cuma dua kali, yaitu “ifthar” (makan petang) dan sahur (sarapan yang waktunya ditarik ke sebelum waktu Subuh). Tidak ada waktu makan ketiga, ta’jil. Karena ‘ta’jil’ itu bukan waktu makan apalagi jenis makanan.
“Ta’jil” (تعجيل) itu kata bentukn (mashdar) dalam Bahasa Arab yang memiliki makna kata kerja. So.. “Ta’jil” itu artinya adalah “bersegera”, diambil dari hadits Nabi Muhammad yang menyuruh untuk berbuka puasa dengan bersegera ketika telah sampai waktunya. Ta’jil bermakna kita jangan menunda berbuka, saat berbuka tiba maka segeralah berbuka (ifthar).
Dalam kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar membawakan hadits nomor 658:
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَلِلتِّرْمِذِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : أَحَبُّ عِبَادِي إلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “Hamba yang paling dicintai di sisi-Ku adalah yang menyegerakan waktu berbuka puasa”.
So, intinya dalam beribadah di bulan Ramadhan, meski itu malam hari tetap menjaga pola makan jangan sampai kekenyangan. Karena waktu makan kita di Ramadhan hanya “ifthar” dan “sahur”, tidak ada makan “ta’jil” dan makan malam, karena “ta’jil” bukan makanan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan:
لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة
“Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah”.
2. Mengurangi Tidur di bulan Ramadhan, baik itu siang maupun malam harinya. Karena banyak tidur di bulan Ramadhan membuat rasa lapar jadi hilang, karena bangun tidur sudah masuk waktu berbuka puasa.
Jam tidur yang berlebihan di bulan Ramadhan, di samping secara kesehatan tidak baik, hal itu membuat jalannya setan semakin lebar untuk menggoda kita. Dan janganlah berdalih dengan hadis ini;
عن عبد الله ابن أبي أوفى رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : نوم الصائم عبادة و صمته تسبيح و عمله مضاعف و دعاؤه مستجاب و ذنبه مغفور
Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidurnya orang yang berpuasa ibadah, diamnya adalah tasbih, amalannya dilipat gandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni”.
Hadits ini ditakhrij Imam Baihaqi namun beliau meriwayatkan hadits tersebut disertai dengan komentar beliau diakhirnya, Ma’ruf bin Hasan –yakni salah satu perawinya– lemah, dan Sulaiman bin Umar An-Nakha’i lebih lemah darinya.
Berkata Al-Hafiz Al-Iraqi di dalam sanadnya ada Sulaiman bin Umar An-Nakha’i salah seorang pendusta. Juga di dalamnya ada Abdul Malik bin Umair, Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam kitab “Adh-Dhu’afa”.
Berkata Imam Ahmad, haditsnya mudhtharib (ada keguncangan). Berkata Ibnu Ma’in, selalu mencampur adukkan. Berkata Abu Hatim:, dia bukan seorang Al-Hafidz.
So… Ayo saudaraku jadikan Ramadhan kali ini sebagai bulan perjuangan untuk mempersempit jalan setan menggoda kita. Dengan dua program mengurangi makan di malam hari dan mengurangi tidur. Isilah waktu senggang dengan ibadah, ini berat namun inilah perjuangan yang harus dijalani di bulan Ramadhan. Wallahu A’lam
*Pengasuh MT Dar Al Kayis Surabaya
*Materi ini disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM dalam program Dialog Motivasi Al-Qur`an pada Kamis 17 Mei 2018