Suaramuslim.net – Berbagai tindak kecurangan terus direproduksi oleh rezim ini. Bahkan hingga menjelang akhir kekuasaannya juga terus berlangsung. Ambisinya untuk memenangkan kompetisi Pemilihan Presiden (Pilpres) membuatnya menghalalkan segala cara. Kecurangan yang dilakukan saat ini adalah menggunakan lembaga survei sebagai patokan menentukan kemenangan.
Lewat metode hitung cepat atau Quick Count (QC) rezim ini melakukan penggiringan opini bahwa dirinya sudah memenangkan pertarungan dalam pemilihan presiden (Pilpres) ini. Penggiringan opini ini melalui media televisi secara serentak dan menyeluruh dengan menampilkan hasil akhir bahwa Petahana memenangkan Pilpres ini.
Tentu saja hal ini menimbulkan gejolak politik yang tinggi di tengah banyaknya kecurangan-kecurangan massif di berbagai daerah.
Pilpres Paling Krusial
Pilpres tahun 2019 ini bisa dikatakan sebagai sebagai Pilpres paling krusial sekaligus brutal. Dikatakan krusial karena kecurangan yang dilakukan begitu kompleks dan menyeluruh. Disebut brutal karena dilakukan secara terang-terangan tanpa mengindahkan norma hukum yang berlaku.
Berbagai praktik kecurangan ini jelas melibas dan meniadakan asas kejujuran dan keadilan. Apa yang dilakukan oleh kubu Petahana telah dicatat dunia sebagai rekam jejak (track record) yang sangat buruk. Dikatakan buruk karena masyarakat sudah melihat puncak ketidakjujuran dalam mempertahankan kekuasaan.
Dalam praktik penyelenggaraan Pilpres tahun ini terlihat berbagai kecurangan secara massif dan terbuka, seperti melibatkan aparat birokrasi, tentara, dan polisi untuk pemenangan. Bahkan penggunakan politik uang secara massif dan terbuka juga dilakukan. Puncaknya, kubu Petahana mempolitisasi hasil Quick Count untuk menggiring opini publik, sehingga masyarakat terpengaruh dan mengakui Jokowi-Maruf Amin sebagai pemenang mengalahkan Prabowo-Sandi.
Di tengah kondisi yang demikian, pendukung Prabowo terlihat gelisah dan langsung terasa ada yang ganjil karena awalnya mereka disuguhi dengan hasil exit poll dari kubu Prabowo. Exit poll merupakan metode hitung cepat dengan menanyakan langsung kepada pemilih terhadap calon yang dia pilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hasil exit poll menunjukkan bahwa kubu Prabowo yang memenangkan Pilpres ini dengan angka 55,4 persen. Angka ini diperoleh dari 34 propinsi dan merujuk pada 5.475 TPS dari 492 kabupaten di seluruh Indonesia.
Dengan adanya penggiringan opini lewat QC dan mencium gelagat kecurangan, maka kubu Prabowo menginstruksikan kepada pendukungnya untuk tidak mempercayai hasil QC lewat siaran televise. Bahkan ada himbauan untuk mematikan televisi agar opini menyesatkan itu tidak menggoyahkan opininya.
Untuk lebih menenangkan pendukung, maka kubu Prabowo mengajak mereka untuk percaya pada data aplikasi “AyoJagaTPS” sehingga masyarakat kembali pada hitungan berdasarkan data yang masuk dari lapangan. Dengan kata lain, kubu Prabowo mengajak kepada pendukungnya untuk mempercayakan pada hasil rekapitulasi data lapangan yang dilakukan oleh para sukarelawan dan sukarelawati.
Lembaga Survei dan Alat Politik
Bukan kali ini saja kubu Petahana menggunakan lembaga survei dalam dalam menggiring opini publik guna memperalat untuk kemenangan dirinya. Mereka pernah melakukannya dengan memenangkan Ahok-Jarot atas Anies Bawedan-Sandiaga Uno pada tahun 2017.
Pada saat itu, lembaga survei lewat QC memenangkan Ahok-Jarot denga angka yang cukup meyakinkan. Pada saat itu, beberapa lembaga survei memenangkan Ahok-Jarot (55,62 persen) atas Anies-Sandiaga (44,18 persen) sehingga masyarakat pendukung Ahok langsung gegap gempita menyambut kemenangan.
Namun setelah mengikuti hasil hitungan manual KPU ternyata yang menang adalah pasangan Anies-Sandi, dan dengan hasil itu, maka keduanya memimpin sebagai Gubenur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Kecurangan dengan menggunakan hasil QC ini seolah menutupi kegagalan pemerintah dalan memimpin satu periode ini. Dalam pandangan publik, Petahana dianggap gagal mewujudkan janji-janji politiknya, dan mengandalkan pencitraan untuk menutupi kegagalannya dalam memimpin negeri ini.
Setelah melihat antusiasme masyarakat yang demikian tinggi terhadap pasangan calon Prabowo-Sandi, dan rendahnya sambutan pada kubu Petahana, maka tidak ada strategi lain untuk melakukan kecurangan, kecuali dengan menggunakan cara dan strategi yang tepat. Strategi yang dipilih adalah menggunakan lembaga survei dengan mempolitisasi QC.
Dengan mengandalkan QC ini, maka masyarakat langsung berasumsi bahwa Petahana memenangkan pertarungan. Sementara kubu Prabowo akan teriak-teriak menunggu sampai hasil akhir, sehingga opini kembali terbentuk bahwa Paslon 02 sebagai pihak yang tidak menerima kenyataan.
Dengan adanya hasil lembaga survei ini bisa memicu kemarahan pendukung 02 untuk melakukan gerakan protes yang berujung kerusuhan. Kerusuhan akan membuat fokus masyarakat teralihkan, dan bukan kepada hasil Pilpres. Dengan perhatian masyarakat yang teralihkan ke kerusuhan, maka para penyusup di KPU lebih tenang dalam menyusun hasil real count. Hasil real count itu akan disesuaikan dengan hasil QC dari lembaga-lembaga survei yang memenangkan Petahana.
Namun strategi ini terbaca oleh pihak Prabowo sehingga mereka menenangkan pendukungnya agar tidak mempedulikan hasil QC dan fokus pada hitungan manual resmi KPU sambil meyakinkan publiknya agar percaya pada hasil hitungan interal yang memenangkan Prabowo-Sandi. Cara ini benar-benar efektif dalam menghadang politik kecurangan yang dilakukan oleh kubu Petahana.
Kecurangan ini terus dilakukan oleh kubu Petahana meskipun di sisa-sisa kekuasaannya. Berbagai kecurangan telah dilakukannya, dan momentum Pilpres yang mengharuskan jujur dan adil pun masing dimanfaatkan untuk berbuat curang. Seluruh sumber daya sudah dilakukan untuk memenangkan pertarungan tapi keinginan masyarakat untuk mengakhiri kecurangan ini sudah memuncak.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net