DEPOK (Suaramuslim.net) – Cap radikalisme kini merebak di tengah masyarakat setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengindikasikan tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar radikalisme. Pernyataan itu tentu saja dibantah oleh para rektor PTN.
Bahkan, ada pula yang menyatakan 40 masjid di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan gejala radikalisme, namun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih meragukannya.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal, meluruskan makna radikal agar tidak meresahkan masyarakat.
“Arti radikal sebenarnya netral atau positif, yaitu cara berpikir dan berperilaku yang mendasar, menggali sampai ke akar permasalahan. Karena itu, orang yang berpikir radikal biasanya melakukan lompatan jauh dalam berbagai bidang. Seperti Albert Einstein dalam bidang fisika yang mengeluarkan teori relativitas, itu bersifat radikal,” ujar Iqbal, Kamis (7/6) di Depok.
“Saya dulu bisa menyelesaikan kuliah program Doktor di luar negeri pada usia 30 tahun karena berpikir radikal. Saya bertekad tidak akan pulang sebelum lulus Doktor, meskipun harus berjuang keras dan belajar lebih disiplin daripada mahasiswa lain,” tambah Iqbal, alumni UIN Jakarta dan menamatkan program Doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Semua itu, tidak membuatnya terseret pada tindakan terorisme yang menggunakan kekerasan.
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menyatakan istilah radikal sudah terlanjur dimaknai negatif oleh media massa.
“Padahal, radikal tidak selalu berhubungan dengan terorisme karena radikal ada juga bermakna positif, terutama dalam dunia ilmiah,” kata Irfan dalam acara focus group discussion (7/6) yang diselenggarakan Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND) yang bertajuk “Menangkal Terorisme melalui Ketahanan Keluarga”.
Irfan yang juga guru besar UIN Alaudin Makasar itu menyatakan bahwa dia tidak setuju kalau Rohis (Kerohanian Islam) dan LDK (lembaga dakwah kampus) dicurigai atau dibatasi karena dicap radikal.
“Seharusnya dibina karena perannya sangat penting dalam membentuk kepribadian siswa/mahasiswa. Bagaimana mereka yang belajar agama, juga memahami pentingnya dasar negara dan pilar kehidupan berdemokrasi,” jelas Irfan.
Sapto Waluyo, Direktur Center For Indonesian Reform yang ikut memelopori terbentuknya gerakan #BersamaLawanTerorisme mengungkapkan stigma radikalisme dan terorisme terhadap aktivis dan organisasi Islam sudah berlangsung lama.
“Pola itu selalu muncul menjelang momen politik yang hangat di tingkat lokal, nasional atau global. Di masa Orde Baru, aktivis Muslim disebut ekstrem kanan, sementara pendukung ideologi komunis disebut ekstrem kiri,” papar Sapto.
Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir