Radikalisme dan Terhentinya Dakwah Islam

Radikalisme dan Terhentinya Dakwah Islam

Radikalisme dan Terhentinya Dakwah Islam
Ilustrasi laki-laki muslim. (Foto: @iambuggo/unsplash)

Suaramuslim.net – Akhir-akhir ini wacana radikalisme direproduksi secara maksimal, dan langkah-langkah untuk perang terhadapnya semakin gencar. Uniknya, Kementerian Agama menjadi ujung tombak perlawanan terhadap radikalisme. Di berbagai kesempatan, Menteri Agama, Fachrul Razi memanfaatkan dan berupaya menggerakkan organ di kementeriannya untuk memerangi radikalisme. Namun muncul pertanyaan, mengapa wacana dan perang terhadap radikalisme justru muncul di tengah tingginya spirit beragama. Di tengah kebanggaan umat Islam terhadap agamanya justru reproduksi radikalisme malah muncul.

Islam dan Radikalisme: Sebuah Anomali

Memang sebuah anomali ketika spirit beragama umat Islam tumbuh, justru muncul kekhawatiran negara. Seolah ada ketakutan, negara mencoba mengangkat isu dan bahaya radikalisme. Fenomena cadar dan pakaian Muslimah, berjenggot dan bercelana cingkrang bagi laki-laki mulai menjadi pandangan umum di berbagai tempat. Fenomena ini justru menjadi fokus dan persangkaan buruk. Sementara banyak perempuan berpakaian ketat dan bahkan terlihat bagian-bagian sensitifnya justru mengalami pembiaran.

Bahkan fenomena shalat berjemaah di masjid dan musala, serta tumbuhnya kajian di berbagai tempat semakin membanjir. Bahkan fenomena ini tumbuh di tempat-tempat yang selama ini tidak umum, dan diikuti oleh mereka yang tergolong menengah ke atas. Kalau dahulu, spirit beragama, seperti shalat berjamaah, hanya muncul di masjid dan musala kampung, maka saat ini ghirah ini tumbuh di kampus, mall, bandara, rumah makan, hingga hotel-hotel. Bahkan kajian-kajian tafsir-hadis tumbuh untuk para karyawan hingga pimpinan, baik di kantor pemerintahan maupun tentara. Bahkan tidak sedikit nuansa beragama mulai tumbuh di kantor, lembaga pendidikan, bank, restoran, hingga rumah sakit.

Artinya, ruang publik benar-benar ada nuansa yang berubah dari sekuler menjadi religius. Apakah perubahan nuansa ini kemudian melahirkan cara berpikir yang anomali, dan tumbuh kegelisahan baru, dan ingin mengembalikan keadaan ke belakang ?

Perkembangan dakwah Islam benar-benar mewarnai kehidupan kaum muslimin dalam suasana damai. Sedikitnya gangguan dalam dakwah membuat umat Islam demikian leluasa mengkaji dan memperdalam Islam. Saat ini, buah atas kedamaian ini melahirkan nuansa islami di berbagai sektor kehidupan karena dakwah Islam telah menembus batas di berbagai strata dan level sosial. Fenomena damai ini seolah mengulang sejarah tersebarnya Islam pada saat umat Islam dalam suasana tenang.

Ingat pasca perjanjian Hudaibiyah, Islam berkembang pesat hingga menembus Romawi dan Persia. Kalau sebelum perjanjian Hudaibiyah, umat Islam ditekan dan diancam, sehingga tersebarnya Islam terhambat. Begitu perjanjian Hudaibiyah disepakati, dan tidak ada perang selama 10 tahun, maka Nabi menulis surat dan mengajak para raja dan penguasa negara-negara besar, seperti Romawi dan Persia, untuk diajak masuk Islam. Hasilnya luar biasa, di tengah suasana damai itu, Islam tersebar di berbagai tempat.

Radikalisme dan Menciptakan Kekacauan Islam

Tersebarnya dakwah dan terciptanya suasana agamis, rupanya membuat sebagian kelompok, yang direpresentasikan oleh elite politik merasa gerah. Reproduksi wacana radikalisme kemudian diikuti dengan kampanye tentang bahaya dan perlunya langkah-langkah strategis untuk memberantasnya. Sangat tidak logis ketika menghubungkan bahaya radikalisme dengan adanya fenomena baju muslimah dan celana cingkrang, serta muslimah cadar dan berjenggot. Dengan kata lain, orang bercelana cingkrang, berjenggot, serta muslimah bercadar dipersoalkan, tanpa mengaitkan tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh yang bersangkutan.

Mempersoalkan celana cingkrang dan cadar tanpa mengaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku, merupakan sebuah pemaksaan. Bahkan melarang berpakaian cingrang dan cadar dengan berpedoman pada aturan kantor, tanpa mengaitkan dengan nilai-nilai agama, merupakan proyek sekularisasi.

Sementara mereka yang bercelana ketat, atau terbuka tidak pernah diusik-usik. Padahal berpakaian seperti ini bukan hanya melanggar agama, tetapi melanggar etika sosial di ranah publik. Negara yang sedang yang memiliki problem kekacauan ekonomi, utang dan penguasaan asing-aseng seolah ditutup-tutupi dengan wacana radikalisme.

Bisa jadi, kesadaran umat Islam yang demikian tinggi terhadap agamanya, dimungkinkan akan muncul kesadaran baru akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta akan membuka mata akan adanya berbagai anomali di negeri ini. Dengan adanya kesadaran agama, maka membuat umat Islam akan mengetahui problem yang melanda negeri ini. Inilah ketakutan mendasar yang dimiliki oleh elite politik di negeri ini.

Oleh karena itu, isu radikalisme sengaja dihembuskan, bukan hanya untuk merusak suasana Islami negeri ini, tetapi ingin menutupi persoalan besar yang sedang melanda negeri ini. Dengan adanya isu radikalisme, maka di antara umat Islam akan terlibat pertikaian internal antar umat Islam. Umat Islam akan sibuk dan saling curiga di antara umat Islam. Di antara umat Islam akan saling saling intai dan curiga, sehingga tidak sempat mengembangkan dakwah ke pihak eksternal.

Ketika wacana radikalisme terus dihembuskan, maka tidak salah apabila ada yang berpandangan bahwa negara ikut memupuk permusuhan di antara umat Islam. Dengan adanya isu radikalisme, maka umat Islam sibuk bertikai, saling curiga, dan tidak lagi sempat memikirkan tersebarnya dakwah. Benturan pemikiran antar umat Islam akan terus berlangsung tanpa memikirkan lagi masa depan Islam di negeri ini. Inilah kira-kira target dari kelompok phobia Islam yang selalu mencari jalan untuk menciptakan kekacauan di tengah umat Islam.

Surabaya, 4 Nopember 2019

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment