Rahn dalam Bank Syariah

Rahn dalam Bank Syariah

Rahn dalam Bank Syariah
Ilustrasi barang jaminan utang.

Suaramuslim.net – Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Lembaga keuangan syariah (LKS) perlu merespons kebutuhan masyarakat tersebut dalam berbagai produknya. Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa untuk dijadikan pedoman tentang rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang, sebagai berikut.

Mengingat 

  1. Firman Allah Surat Al-Baqarah Ayat 283

“Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.”

  1. Hadis Nabi

“Sesungguhnya Rasulullah pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (Al-Bukhari dari Aisyah). 

“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan.” (Asy-Syafi’i, Ad-Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah). 

  1. Ijma

Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).

  1. Kaidah fikih

Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Memperhatikan

Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Kamis, 14 Muharram 1423 H/ 28 Maret 2002 dan hari Rabu, 15 Rabiul Akhir 1423 H/26 Juni 2002.

Menetapkan: FATWA  TENTANG RAHN (UMUM)

Pertama: Hukum

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Kedua: Ketentuan Umum

  1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
  2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik r Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
  3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
  4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
  5. Penjualan marhun
  6. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
  7. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
  8. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

 

Kedua: Ketentuan Penutup

  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment