Raih Gelar Doktor Termuda di Usia 24 Tahun, Begini Cerita Rendra

Raih Gelar Doktor Termuda di Usia 24 Tahun, Begini Cerita Rendra

Raih Gelar Doktor Termuda di Usia 24 Tahun, Begini Cerita Rendra
Doktor termuda dari ITS, usia 24 tahun, Rendra Panca Anugraha bersama M Isa Ansori dari Dewan Pendidikan Jatim dalam talshow Ranah Publik radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm, Senin (25/3/19).

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Sukses di usia muda merupakan impian semua anak muda namun untuk meraihnya harus dibayar dengan perjuangan yang keras. Teori dan konsep mencapai sukses bisa seabrek jumlahnya. Tapi bagi mereka yang benar-benar ingin mencapai sukses di usia muda, mereka tak pernah berhenti belajar dan terus menambah asupan informasi dari beragam sumber agar semakin matang dalam pemikiran serta tindakan.

Hal ini pula yang dialami Rendra Panca Anugraha, alumni Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya yang diwisuda pada Ahad (17/3) dalam gelaran Wisuda ke-119 ITS.

Rendra, panggilan akrabnya, membagikan ceritanya kepada Suara Muslim sebagai berikut.

 Raih Gelar Doktor Termuda di ITS

Rendra Panca Anugraha dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (25/03/19) mengatakan, ia bisa meraih gelar doktor dalam waktu cepat karena mengikuti sebuah program beasiswa bernama Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). Program yang digulirkan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di tahun 2015 ini menantang para sarjana unggulan untuk menyambung studi mereka hingga ke tingkat doktoral dalam kurun empat tahun.

Sukses menempuh studi di usia dini memang sudah diawali Rendra sejak di sekolah dasar dan menengah.

“Saya masuk SD saat usia 5,5 tahun. Sejak SMA saya mengikuti program akselerasi selama 2 tahun, kemudian melanjutkan S1 hingga usia 20 tahun,” ujar bungsu dari lima bersaudara ini.

Pendidikan formal menurutnya, sangat diperlukan. Walaupun keilmuan bisa didapatkan melalui berbagai sumber termasuk internet. Namun, untuk segi pengembangan pribadi dan pola pikir ia dapat dari perkuliahan. “Jadi tidak hanya keilmuan jurusan saja yang kita dapat tetapi pola pikir dan kepribadian bisa dapatkan,” paparnya.

Rendra menyebut, dirinya mengaku sangat beruntung karena dianugerahi kemudahan untuk mendapatkan publikasi ilmiah di 3 jurnal internasional dalam waktu 3 tahun saja, yang bagi sebagian orang untuk mempublikasikan di 1 jurnal membutuhkan waktu cukup panjang. Selain itu, dukungan para pembimbing juga sangat detail mulai dari arah penelitian sehingga dapat berkembang dengan cepat.

“Alhamdulillah, pada akhirnya saya dapat menjadi doktor termuda saat ini di usia 24 tahun dari Departemen Teknik Kimia ITS. Saya merampungkan tantangan itu dalam kurun waktu 3,5 tahun di bawah bimbingan Prof Dr Ir Gede Wibawa M Eng dan Prof Dr Ir Ali Altway MS,” jelas anak muda yang juga bermain game online ini.

Rendra menyebut dalam disertasinya, terfokus pada pemanfaatan Dimethyl Carbonate (DMC) dan Diethyl Carbonate (DEC) sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin. Penelitian itu diambil melihat kondisi Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil (terutama bensin), padahal sumber daya tersebut sangat terbatas. Oleh karenanya, untuk mengurangi ketergantungan ini dengan menambahkan DMC dan DEC yang dapat diproduksi dari sumber biomassa.

Saat ditanyakan rencana ke depan setelah menuntaskan jenjang tertinggi perkuliahan, Rendra mengatakan lebih memilih dosen atau peneliti. Profesi dosen atau peneliti menjadi pilihannya, karena ia ingin menyelesaikan banyak problem nyata di masyarakat, serta mencari solusi atas beberapa persoalan yang memiliki kompleksitas tinggi melalui riset.

Rendra beralasan, riset adalah salah satu pilar untuk majunya suatu bangsa, jadi dengan riset yang maju akan menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan. Yang menjadi persoalan di Indonesia, arah dari riset yang sesuai dengan pembangunan masih perlu dibenahi, terutama untuk kesesuaian antara riset yang dilakukan universitas dan kebutuhan industri.

“Bahkan saat ini, industri sendiri kurang percaya terhadap riset universitas. Saya tidak tahu kenapa, apakah kurangnya kebijakan pemerintah atau kurangnya regulasi pemerintah untuk mengajak industri berkolaborasi dengan universitas,” jelasnya.

Rendra menyebut, selama menjalani program PMDSU sempat dihadapkan pada beberapa persoalan yang menghambat progres penelitiannya. Salah satunya adalah dalam hal penyediaan bahan eksperimen. Kadang, Rendra sampai harus mencari sendiri bahan eksperimen yang dibutuhkan tersebut di luar negeri, sehingga perlu mengurus surat ekspor-impor barang.

“Meskipun sulit, saya tetap berkomitmen untuk menjalani studi doktoral sebaik mungkin. Keberhasilan ini adalah kemudahan yang diberikan Allah jadi tidak perlu terlalu dibanggakan kecuali dengan bersyukur dan berkontribusi menemukan solusi atas masalah yang ada di masyarakat,” tutur peraih doktor termuda yang pernah melakoni berbagai penelitian sekaligus menghimpun pengalaman di Hiroshima University Jepang.

Sentralisasi Pendidikan adalah Kemunduran

Sementara itu, Dewan Pendidikan Jawa Timur M. Isa Anshori dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (25/03/19) mengatakan, ada dua inspirasi yang bisa diambil dari kisah kesuksesan studi Rendra bagi generasi muda.

Pertama, ucap Isa, tidak semua anak muda memilih jalan yang diambil mayoritas orang seperti menjadi pengusaha dan politisi. Kedua, model pendidikan di Indonesia ternyata sudah tidak mampu memfasilitasi anak-anak yang memiliki keceradasan luar biasa. Pasalnya, jenjang pendidikan di Indonesia yang terlalu lama sehingga semestinya menyediakan ruang akselerasi mempercepat pendidikan, karena tidak semua anak bisa disamakan.

“Jika sebagian anak muda mempunyai visi menjadi entrepreneur namun tidak bagi Mas Rendra, di tengah hiruk pikuk orang berpolitik, ada kesunyian yang dipilih. Ia lebih memilih menjadi dosen atau peneliti yang sesuai dengan ilmunya, disumbangkan untuk kepentingan lebih besar,” ujar Isa.

Isa menjelaskan, dulu ada kelas akselerasi, jika siswa mampu menghabiskan modul pembelajaran maka mereka akan selesai dan naik ke jenjang berikutnya sesuai kemampuan. Sekarang ini tidak ada, semua jenjang sama rata, SD harus ditempuh 6 tahun, jika kurang dari itu maka harus ada syarat lain.

“Ini yang dinamakan menghapus keragaman; keunikan masing-masing anak yang ada. Jangan sampai kebijakan-kebijakan ini hanya mengakomodir kebijakan pusat. Model pembelajaran yang ada di Jakarta jika ditransfer ke daerah belum tentu sesuai. Dalam tataran mikro pendidikan, proses pembelajaran tidak harus sama, sehingga ada ruang untuk memberikan kebebasan bagi daerah memfasilitasi siswa–siswi kita,” paparnya.

Menurut isa, visi misi pendidikan Indonesia tentu berharap melahirkan masyarakat Indonesia yang bervariasi. Visi itu bisa dicapai jika program yang dijalankan sesuai, dan meniscayakan agar ruang untuk menjalankan program harus dibuka lebar. Kondisi saat ini justru sebaliknya, pendidikan Indonesia mengalami kemunduran. Dulu dalam pendidikan ada desentralisasi tetapi saat ini polanya mengarah sentralisasi, semua harus dikendalikan pemerintah pusat.

Di beberapa sekolah dahulu terdapat program akselerasi, namun saat ini sudah disamaratakan. Menurut Isa, ini tidak adil bagi siswa yang mempunyai kecepatan dalam proses belajar. Seharusnya pendidikan mampu mengakomodasi peserta didik baik yang mempunyai kecepatan belajar di atas rata-rata maupun yang lambat dalam proses belajar.

“Jika sekarang ini semua harus sama, maka dampaknya bagi daerah adalah tidak bisa mengelola pendidikan secara maksimal, ruang ini yang harusnya kita dorong untuk berubah. Pemerintah pusat harusnya sadar bahwa ruang pendidikan di setiap daerah tentu berbeda, di situlah perlunya kebebasan improvisasi di setiap daerah,” tandasnya.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment