Refleksi Teks Hadits Seputar Anjuran dan Larangan Mengunjungi Masjidil Aqsha

Refleksi Teks Hadits Seputar Anjuran dan Larangan Mengunjungi Masjidil Aqsha

Refleksi Teks Hadits Seputar Anjuran dan Larangan Mengunjungi Masjidil Aqsha

Penulis: Prof Abd al-Fattah El-Awaisi 

Suaramuslim.net – Situasi sulit serta perubahan yang terjadi dalam skala regional, Arab maupun internasional yang terjadi begitu cepat mampu mengalihkan perhatian dari urusan Palestina, serta bahaya yang sedang mengancam Baitul Maqdis.

Menurut saya, menjadi sangat relevan saya memulai penjelasan mengenai masalah ini dengan poin penting secara terstruktur sebagaimana saya sampaikan dalam kuliah di kampus.

Poin penting pertama adalah bahwa kita tidak akan pernah bisa memahami hakikat sebuah peristiwa tanpa terlebih dahulu mengetahui latar belakang, kondisi, serta situasi yang menyebabkan peristiwa itu terjadi atau dalam Ulumul Quran biasa disebut Asbabun Nuzul.

Sebagaimana kita juga tidak akan bisa memahami hadits Rasulullah secara utuh tanpa mengaitkannya dengan hadits-hadits lain dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, pun sama halnya tidak mungkin dipisahkan sebagian isi hadits tanpa menyempurnakan bagian yang lain. Bagian tak terpisahkan dalam usaha memahami hadits dan menarik kesimpulan hukum syar’i darinya adalah dengan mengetahui sebab-sebab dan situasi saat hadits tersebut disampaikan. Dan tidak semua periwayat hadits mampu menarik kesimpulan hukum syar’i dari hadits yang diriwayatkan.

Mari kita mulai mendiskusikan esensi dari urusan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha.

Urgensi Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha di Zaman Rasulullah

Untuk itu, izinkan saya berbicara dari perspektif lain, bukan dari sudut pandang yang banyak berkembang hari ini, yang hanya berkutat tentang boleh tidaknya berkunjung ke Masjidil Aqsha yang sedang dalam penjajahan Zionis. Namun, sudut pandang yang kita ambil dari referensi sejarah Islam, dari Sirah Nabawiyyah tentang bagaimana Rasulullah menggariskan rencana strategis pembebasan Baitul Maqdis.

Baitul Maqdis di masa Rasulullah adalah sumber harapan, kebahagiaan dan keamanan. Lokasi inspirasi angkatan pertama muslimin di Makkah, yang selalu terbayang dalam benak, serta imajinasi mereka. Rasulullah sejak awal dakwah fokus mengisi samudera jiwa mereka dengan kerinduan kepada Baitul Maqdis. Hati-hati mereka dipertautkan dengannya. Maka, sejak saat itu di setiap benak muslim, Baitul Maqdis menjadi bumi harapan dan keamanan, serta impian akan perubahan.

Edukasi tentang pentingnya kedudukan Baitul Maqdis sudah ditanamkan sejak marhalah (fase) Makkah dan kemudian diperkuat lagi sesudah hijrah ke Madinah.

Saat muslimin masih di Makkah, mereka menjadikan Masjidil Aqsha yang terletak di Baitul Maqdis sebagai kiblat shalat dalam waktu yang cukup lama dan dilanjutkan saat di Madinah selama kurang lebih 16-17 bulan sebelum dipindahkan ke Kakbah.

Bisa disimpulkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam lebih lama berkiblat ke Masjidil Aqsha daripada ke arah Kakbah, diperkirakan sekitar 16 tahun (sejak dimulai kenabian) lamanya.

Baitul Maqdis pun oleh para sahabat Nabi sering dijadikan materi perbincangan sesama mereka. Para sahabat beberapa kali menanyakan kepada Rasulullah, mana yang lebih utama Masjidil Aqsha atau Masjid Nabawi seperti dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu yang bertanya mana masjid yang pertama dan kedua didirikan di muka bumi. Atau dalam bentuk pertanyaan meminta penjelasan dari Nabi tentang Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha sebagaimana yang terjadi pada Maimunah binti Sa’d pembantu Rasulullah saat mengajukan permintaan kepada beliau: “Berikan kepada kami fatwa tentang Baitul Maqdis.”

Hasil dari persiapan pengetahuan yang terus berlangsung di antara para sahabat baik saat di Makkah maupun Madinah adalah banyak di antara shahabat yang ingin sekali mengunjungi Masjidil Aqsha, seperti sahabat Al-Arqam bin Abil Arqam –sesudah Umar bin Khattab memeluk Islam -menyampaikan langsung keinginannya kepada Rasulullah untuk mengunjungi Baitul Maqdis.

Sahabat lain sampai bernadzar akan shalat di Masjidil Aqsha jika Allah membukakan kota Makkah bagi Muslimin atau sesudah Allah angkat penyakit dari dirinya. Ada juga sahabiyah yang berkonsultasi kepada Maimunah, istri Rasulullah tentang hal serupa.

Meskipun hati, jiwa dan akal para sahabat begitu terpaut dan merindukan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha, namun Rasulullah tidak mengizinkan mereka mengunjunginya dan malahan sebagai gantinya memberikan arahan nabawiyyah.

Saya bersama sejumlah murid saya terlibat cukup lama memikirkan kenapa Rasulullah tidak mengizinkan para sahabat mengunjungi Masjidil Aqsha dan justru memberikan opsi lain kepada mereka?

Diskusi tersebut mengantarkan kami pada satu kesimpulan bahwa tidak ada alasan lain mengapa Rasulullah melarang para sahabat mengunjungi Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha, selain karena keduanya saat itu dalam penjajahan Romawi Bizantium.

Boleh jadi pelarangan ini merupakan bagian dari rencana strategis dan pemetaan geo-politik yang Rasulullah gariskan untuk membebaskan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha dari cengkeraman penjajah Romawi Bizantium.

Selain itu, kita juga tidak pernah mendengar satu pun sahabat yang mengunjungi Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha dalam keadaan terjajah. Mereka baru memasukinya sesudah dibebaskan di masa Amirul Mu͛minin Umar bin Khattab.

Justru perhatian besar Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab ialah menjalankan setiap tahap-tahap persiapan pembebasan dari persiapan pengetahuan, politik dan militer.

Narasi Tentang Baitul Maqdis dalam Hadits Nabawi

Berikut hadits-hadits sahih yang kami jadikan referensi:

  1. Hadits pertama merujuk pada masa-masa awal bi’tsah (setelah diangkat menjadi Rasul), lebih spesifik lagi di akhir tahun ke-5 kenabian yang menceritakan tentang keinginan Al-Arqam bin Al-Arqam untuk mengunjungi Baitul Maqdis lalu shalat di dalamnya.

Al-Hakim An-Naisaburi meriwayatkan dalam Mustadrak atas Shahihain (3/504) dan disahihkan, serta dikuatkan oleh Adz-Dzahabi dari sahabat Al-Arqam bin Abil Arqam radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendatangi Rasulullah untuk berpamitan sesudah Umar masuk Islam (Umar masuk Islam pada bulan Dzulhijjah tahun kelima kenabian), Al-Arqam berkata: “Maka aku datang menemui Rasulullah untuk berpamitan. Waktu itu aku ingin pergi menuju Baitul Maqdis. Rasulullah kemudian berkata kepadaku: “Hendak ke mana?”

“Baitul Maqdis,” jawabku. “Ada urusan apa ke sana, apakah untuk berdagang?” Rasulullah kembali bertanya. “Bukan. Aku ingin shalat di sana,” jawabku. Rasulullah kemudian berpesan kepadaku, “Shalat di sini (Masjid Nabawi) lebih baik dari seribu shalat di tempat lain.”

  1. Hadits saat pembukaan kota Makkah (Jum’at 20 Ramadhan tahun 8 H). Hadits tersebut bercerita tentang nadzar seorang sahabat yang berazzam akan shalat di Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis jika Allah membukakan kota Makkah Al-Mukarramah.

Diriwayatkan Imam Ahmad (12/22, hadits no: 14856), Abu Daud (3/196, hadits: 3305), Ad-Darimi (185-2/184) dan Al-Hakim (305-4/304). Dari Jabir bin Abdillah bahwa pada saat pembukaan kota Makkah ada salah seorang berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar jika Allah membukakan bagimu kota Makkah, maka saya akan shalat di Masjidil Aqsha.” Rasulullah berpesan: “Shalatlah di sini saja.” Sahabat tadi lalu menanyakan untuk kedua kalinya. Rasulullah menjawab dengan jawaban yang sama. Pertanyaan yang sama diajukan kembali untuk ketiga kalinya. Baru Rasulullah menjawab, “Kalau begitu itu urusanmu.” Dalam salah satu riwayatnya Abu Dawud menambahkan: “Demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan haq, jika kau shalat di sini, maka pahalanya akan menyamai pahala shalat di Masjidil Aqsha.”

  1. Hadits berikutnya tercatat saat fase Madinah. Kali ini berbicara tentang nadzar salah seorang sahabiyah yang akan shalat di Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis jika Allah menyembuhkan dirinya dari penyakit.

Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad (44/408, hadits: 26826) bahwa dikisahkan ada salah seorang wanita mengadu, “Jika Allah menyembuhkan saya, maka saya akan keluar untuk shalat di Masjidil Aqsha.” Ia kemudian sembuh dan bergegas menyiapkan diri untuk berangkat ke Baitul Maqdis. Kemudian datanglah Maimunah istri Rasulullah menyalaminya. Wanita itu lantas menceritakan niatannya kepada Maimunah. Maimunah berkata, “Duduklah, makanlah apa yang sudah aku buatkan. Dan shalatlah di Masjid Rasulullah karena sungguh aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Shalat di dalamnya lebih mulia dari seribu kali shalat di masjid lain kecuali Kakbah.”

  1. Hadits ke empat diriwayatkan Imam Ahmad (6/463) : ….bahwa Maimunah pembantu Rasulullah berkata: “Ya Nabi Allah, berikan fatwa kepada kami mengenai Baitul Maqdis.” Rasulullah bersabda: “Bumi Mansyar dan Mahsyar, datangi dan shalatlah di dalamnya karena shalat di dalamnya sebanding dengan seribu shalat di tempat lain.”

Maimunah bertanya: “Bagaimana jika tidak bisa mendatanginya?” Rasulullah menjawab: Maka kirimkanlah hadiah berupa minyak penerang untuknya, sebab sesungguhnya ganjaran yang memberikan hadiah kepadanya sama dengan shalat di dalamnya.”

Mari perhatikan bagian ke dua dari hadits yang sering kita lewatkan (sengaja maupun tidak), renungkanlah dengan hati dan akal. Mari kita berhenti pada bagian hadits berikut, “Sebab sesungguhnya ganjaran bagi yang mengirimkan hadiah kepadanya sama dengan shalat di dalamnya.”

Izinkan saya menjelaskan hadits ini dari perspektif sejarah dan geografi dimana hal ini akan langsung dipahami oleh mereka yang khusus belajar tentang Baitul Maqdis dengan melemparkan sebuah pertanyaan: Bagaimana mungkin mengirimkan minyak untuk menerangi lampu-lampu Masjidil Aqsha sedangkan waktu itu belum ada bangunan yang berdiri di atasnya?

Berdasarkan riset ilmiah dan penemuan peta Madaba, pada masa penjajahan Bizantium, sebelum pembebasan pertama Muslimin, tidak ada satu pun bangunan berdiri di atas kompleks Masjidil Aqsha. Tidak diragukan lagi ini merupakan bagian dari Nubuwat Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tentang gambaran masa depan Masjidil Aqsha yang akan memiliki bangunan dan membutuhkan penerangan menggunakan minyak.

Saya akan menutup perenungan ini dengan menjelaskan persoalan penting mengenai Masjidil Aqsha. Banyak yang mengira bahwa Masjidil Aqsha dibangun oleh Nabi Ibrahim 40 tahun sesudah membangun Kakbah sebagaimana tertera dalam hadits dari Abu Dzar Al-Ghifary. Akan tetapi, berdasarkan riset ilmiah yang sudah dilakukan oleh para ulama menegaskan bahwa pembangunan pertama Masjidil Aqsha dilakukan sebelum adanya anak keturunan Kan’an, Ibrahim dan Sulaiman.

Dari banyak riset yang dilakukan oleh para ulama, saya menukilkan kepada para pembaca ringkasan perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang merajihkan pendapat Ibnul Jauzi dan menjadikannya paling akurat dibanding pendapat lain. Dibuktikan dengan mengatakan, “Saya telah menemukan apa yang menjadi saksi penguat pendapat yang mengatakan: bahwa Nabi Adam adalah orang yang menta’sis (mengawali) berdirinya kedua masjid tersebut.”

Ibnu Hisyam menyebutkan dalam kitab “At-Tijan” bahwa sesudah Nabi Adam selesai membangun Kakbah, Allah perintahkan dirinya untuk berangkat ke Baitul Maqdis untuk membangun Masjidil Aqsha. Maka, dibangunlah dan lalu dijadikan tempat beribadah. Dan riwayat pembangunan ini sangat masyhur.” (Fathul Bari 409/6-408).*

*(Pendiri Islamic Jerusalem Research Academy) 
*diterjemahkan oleh tim Institut Al-Aqsa untuk Riset Perdamaian.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment